Makam
Nyai Malinda
■cerpen Setia Naka Andrian
Malinda, begitulah nama dalam nisan yang selalu
basah dengan aroma kembang-kembang. Kerumun orang-orang pun mengantri dari hari
ke hari. Sungguh, tak seperti pada umumnya peziarah datang ke makam alim ulama
atau kiai. Kali ini nisan yang bertulis Malinda pun ramai pengunjung.
Lebih-lebih ketika Ramadan seperti ini.
Para pengunjung juga bukan peziarah pada umumnya.
Mereka datang dengan busana yang nyetil, banyak
orang menyebut itu gaya you can see. Wow,
siapa sebenarnya Malinda? Banyak orang bertanya-tanya seperti itu. Apakah ia
dulunya seorang istri kiai besar? Atau mungkin ia seorang pemuka agama yang tersohor
pada masanya? Warga kampung sekitar pun dulunya sering memperdebatkan tentang
hal itu, namun jarang yang berani angkat bicara berpanjang lebar. Kebanyakan
memilih untuk diam. Takut kalau terjadi apa-apa. Maklum karena berurusan dengan
makam.
Pengunjung datang dari berbagai kota. Peziarah
yang aneh, mengenakan pakaian yang aneh-aneh pula. Tidak wajar sebagai seorang
peziarah. Kebanyakan perempuan cantik-cantik dan seksi-seksi yang datang ke
makam itu. Mereka menebar aurat. Hingga terkadang membuat para pemuda warga
kampung setempat dijadikan sebagai wisata tersendiri, mereka menyebutnya
sebagai wisata cuci mata.
Setiap kamis sore para pemuda yang kebanyakan berumur
belasan tak ingin ketinggalan untuk berwisata di makam Malinda. Bukan untuk
menyaksikan makam Malinda yang biasa-biasa saja itu, makam yang hanya ditandai
dengan nisan beton kusam tanpa cat. Tak lain mereka ingin menyaksikan para
peziarah yang cantik-cantik, menor, bahenol dan seksi-seksi setiap harinya.
Lebih-lebih pada bulan Ramadan seperti ini, benar-benar setiap hari selalu saja
banyak peziarahnya. Sehingga membuat para pemuda sangat tak ingin ketinggalan
untuk menyaksikan wisata cuci mata itu.
Hal semacam ini telah menjadi tren tersendiri bagi
para pemuda setempat. Bahkan ada yang bilang kalau melewatkan satu hari saja,
maka akan disebut oleh teman-temannya sebagai pemuda nggak gaul. Mereka tak
peduli dengan bulan Ramadan sekalipun. Bagi mereka sore hari yang paling
menyenangkan adalah ngabuburit sambil berwisata cuci mata di makam Malinda. Bayangkan
saja, wisata cuci mata itu telah menandingi hingar-bingar sebuah konser musik
rock kolosal termegah sepanjang abad ini. Sungguh mampu membius mereka sebagai
tren tersendiri.
Lama-kelamaan wisata cuci mata itu tercium oleh
masyarakat lebih luas. Bahkan kali ini tidak hanya para pemuda yang masih umur
belasan saja, namun para om-om pun tak mau ketinggalan. Kali ini semakin ramai
saja makam Nyai Malinda, orang-orang menyebutnya begitu. Menambahkan gelar nyai
sebelum nama populer Malinda. Sungguh sangat ramai, hingga semua itu telah
dijadikan sebagai tambang untuk mengeruk uang bagi warga setempat. Kepala desa
pun memberi ijin kepada masayarakat untuk menjadi tukang parkir di makam
tersebut, termasuk juga berjualan makanan untuk buka puasa bagi para
pengunjung.
Masyarakat setempat pun sepertinya sangat senang,
ketika banyak mobil mewah berdatangan dari berbagai kota besar di negeri ini.
Para konglomerat pun menyempatkan diri bersama teman-teman seperjuangannya
untuk menyaksikan kemegahan wisata cuci mata ini. Wow, sungguh sangat aneh.
Sebuah makam menjadi tempat wisata yang begitu ramai, pengunjung setiap harinya
semakin bertambah. Ibaratnya, setiap satu pengunjung hari ini akan bercerita
setidaknya kepada dua orang untuk berkunjung besok.
Bayangkan saja bila hari ini yang berkunjung dua
ratus orang, pasti otomatis besok akan datang empat ratus orang yang berbeda.
Bukan main, itu setiap hari pada bulan Ramadan. Kalau seperti ini terus-menerus
pasti kelak makam Nyai Malinda ini akan dikelola oleh dinas pariwisata, sebagai
sebuah wisata cuci mata yang paling menghebohkan sepanjang abad ini.
Semakin hari komplek pemakaman Nyai Malinda
semakin hiruk-pikuk dipadati peziarah. Juga otomatis warga setempat pun
memanfaatkan sebagai lapangan kerja, semakin banyak yang menjadi tukang parkir,
pedagang, hingga ada beberapa warga yang memiliki modal telah mendirikan
penginapan di sekitar komplek pemakaman tersebut.
Sampai-sampai para keluarga peziarah makam lainnya
pun kehabisan tempat untuk sekadar membisikkan doa kepada mendiang arwah yang
jasadnya diabadikan bertetanggaan dengan makan Nyai Malinda. Lalu ada beberapa
warga setempat, termasuk kepala desa beserta para jajaran kabinetnya berniat
untuk mengadakan rapat guna mencanangkan penutupan komplek pemakaman tersebut.
Kepala desa sempat menuturkan, jika para keluarga
yang memiliki sanak saudara yang di makamkan di komplek pemakaman tersebut dan
mereka merasa terganggu dengan adanya wisata cuci mata, maka kepala desa
beserta para jajaran kabinetnya dan juga warga kampung siap untuk membantu
pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan
makam Nyai Malinda tersebut.
Kehendak yang direncanakan oleh kepala desa
beserta para jajaran kabinetnya dan juga warga kampung itu pun semakin
terdengar di mana-mana. Para wartawan dari berbagai media masa lokal maupun
nasional pun turut andil, setiap hari berduyun-duyun memotreti wisata cuci mata
itu. Mereka berdesakan mencari informasi tentang wisata yang paling heboh
sepanjang abad ini.
Kini semakin lengkap saja menelusur permukaan hingga
ke akar-akar pelosok negeri ini tentang kabar yang menggemparkan mengenai
sebuah wisata cuci mata, sebuah tempat wisata yang hiruk-pikuk dengan para
peziarah yang cantik-cantik, menor, bahenol dan seksi-seksi setiap harinya.
Lebih-lebih pada bulan Ramadan seperti ini, benar-benar setiap hari selalu saja
bertambah banyak para peziarahnya.
Sebuah pelosok kampung yang dulunya sepi dan
sangat jauh dari keramaian kini telah menjadi pusat wisata yang hiruk-pikuk. Kepala
desa beserta para jajaran kabinetnya pun kali ini benar-benar ingin menutup
komplek pemakaman tersebut.
Kepala desa juga telah menugaskan para jajaran
kabinetnya dan beberapa warga kepercayaan untuk mendatangi para keluarga yang
memiliki sanak saudara yang di makamkan di kompek pemakaman tersebut, untuk
membicarakan perihal pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan
bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda.
Kali ini kepala desa benar-benar semakin
mempertegas kehendak tersebut. Atas dukungan para jajaran kabinet serta
masyarakatnya, pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan
bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda pun semakin hampir terealisasikan.
“Mari kita urus pembongkaran serta pemindahan
jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda. Agar
kampung kita benar-benar menjadi tempat wisata yang besar sepanjang abad ini!
Agar kelak menjadi tempat yang bersejarah dan menghasilkan lapangan pekerjaan
bagi masyarakat kita. Sehingga warga kita akan benar-benar makmur dan sejahtera!”
Begitulah ungkap kepala desa dengan sangat lantang
di hadapan forum rapat pencanangan penutupan komplek pemakaman dan pembongkaran
serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai
Malinda. Semua warga pun setuju dengan apa yang dikatakan oleh kepala desa.
Karena memang hal tersebut sudah menjadi kesepakatan dan kehendak bersama.
Mengingat segenap warga pun merasa diuntungkan
dengan adanya wisata cuci mata tersebut. Mereka tak mempedulikan apa pun
mengenai segala dampak yang akan ditimbulkan dari wisata aneh itu. Walaupun
anak-anak mereka yang masih umur belasan menjadi saksi tentang wisata terheboh
sepanjang jaman di negeri ini.
Namun ternyata ada sesuatu yang belum terpikirkan
oleh kepala desa beserta para jajaran kabinetnya dan juga segenap warga
kampung. Yakni tentang penyebab makam Nyai Malinda yang begitu banyak dikunjungi
oleh para peziarah. Semua itu terbesit ketika banyak dari wartawan yang
menanyakan tentang keganjilan itu kepada para warga.
Namun tak satu pun warga yang mampu menjawabnya. Yang
diketahui oleh warga setempat hanya sebatas para peziarah yang cantik-cantik,
menor, bahenol dan seksi-seksi yang setiap harinya berkunjung adalah datang
dari luar kota. Jadi para peziarah memang bukan dari warga tetangga, bukan pula
dari warga setempat.
Mengingat Nyai Malinda sudah meninggal pada puluhan
tahun yang lalu, ada yang bilang sudah hampir delapan puluh tahunan. Jadi
meninggalnya Nyai Malinda sudah seumur manusia. Sehingga sangat sulit untuk
mengetahui asal-usulnya. Juga karena warga setempat menganggap hal itu adalah
keramat.
Mereka takut menanyakan sesuatu tentang hal yang
terkait dengan orang yang sudah mati, sekalipun harus bertanya kepada para
peziarah yang bahenol-bahenol itu. Ditambah lagi warga setempat pun tak ada
yang tahu tentang sanak saudara ataupun keluarga dari Nyai Malinda. Entah tak ada
yang tahu, atau mungkin ada namun tidak ingin mengungkap, atau bahkan di
kampung ada yang benar-benar keluarganya tapi tidak mau diketahui.
Ah, terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan yang
bermunculan. Namun begitulah, semua menjadi wajar-wajar saja dan
standar-standar saja ketika warga setempat tak menggubris hal itu. Bagi warga
setempat yang terpenting hanyalah mengeruk duit, ketika wisata cuci mata
menjadi ladang untuk mengunduh duit. Sudah, segala jabat cerita selesai ketika
bertemu dengan yang namanya duit.
Lalu tiba pada suatu hari warga digegerkan oleh berita
dari surat kabar lokal, di situ tertuliskan perihal Nyai Malinda. Bahwa ia
merupakan seorang mantan pelacur yang telah tobat. Namun warga setempat kala
itu tak mau menerima dan mengampuni segala perbuatannya. Kemudian semua itu
berangsur-angsur dan warga tetap tidak mau menerima keberadaan Nyai Malinda.
Hingga akhirnya ia mati karena sakit keras. Setelah
beberapa tahun kemudian, tempat pemakaman yang digunakan untuk mengebumikan
Nyai Malinda tergusur proyek pembangunan pelebaran jalan. Lalu salah seorang
pekerja menemukan jasad yang masih utuh dengan kain kafan yang masih putih dan bersih
pula. Jasad itu adalah Nyai Malinda.
Hingga selanjutnya makam Nyai Malinda dijadikan
sebagai tempat ziarah bagi para pelacur, sampai saat ini. Karena bagi para
pelacur yang berkunjung, berziarah ke makam Nyai Malinda adalah wujud untuk
mencari berkah dalam melacur. Ungkap wartawan atas pengakuan seorang nenek tua renta
yang ternyata tinggal di kampung tersebut. Seorang sepuh yang dulunya juga
sempat mengurus pemindahan jasad Nyai Malinda di komplek pemakaman yang
sekarang ini. Ya benar, nenek itu juga seorang mantan pelacur. Ungkap salah
seorang wartawan surat kabar lokal setempat.***
Semarang, Desember 2015-2019