Segala tentang Hitungan
Oleh Setia
Naka Andrian
Angka
2019 akan segera bergeser menjadi angka genap 2020. Tentu tak sedikit di antara
kita yang turut serta menyambutnya dengan serius, biasa saja, atau bahkan
menolaknya. Ada yang menyambut sekadarnya. Berdiam diri di depan rumah, sambil
menanti tabur kembang api yang dipaksa meledak dari kejauhan. Atau menyambut
serius dan berharap tidak biasa-biasa saja, berharap tidak selesai begitu saja
atau hilang dengan begitu cepatnya.
Misalnya
saja yang (akan) dikerjakan (dihimpun) oleh Tanjung Alim Sucahya dan Andaru
Mahayekti. Ya, dua anak muda jomblo yang sempat mengaku diri mereka masih
berantakan itu. Jumat (27 Desember) lalu memang saya berjumpa mereka di
Bojonggede, desa lahir dan tinggalnya Tanjung. Saat itu kami berbincang tentang
beberapa hal, lalu gelisah, lalu ingat angka tahun, ingat laku dalam diri
personal dan komunal.
Cukup
panjang perbincangan dan berderet kegelisahan yang kami panjatkan. Akhirnya,
selepas makan siang di sebuah warung, bersepakatlah untuk membuat sebuah
terbitan (bundelan) yang dicetak terbatas untuk menyambut pergantian tahun. Ya,
saya cukup bahagia, ketika Tanjung dan Andaru mengetuk palu. Meski dengan
was-was.
Dan
kali ini, di ujung angka bulan ini, saya ingin turut serta menyambutnya dengan
catatan pendek, sederhana, biasa-biasa saja ini. Yang mengusik saya, tentu
perihal hitungan. Sungguh, hitungan begitu kentara mengusik benak dan batin
saya kali ini. Barangkali juga Anda, atau bisa jadi tidak sama sekali.
Meski
jika boleh sedikit menepi dan menyingkir sejenak, hitungan itu bukan hak kita.
Ada Yang Maha Menghitung, yang akan mengakhiri segala penjumlahan gerak
hidup-mati kita. Namun dalam medan proses kreatif, kita harus berani menghitung
itu. Bahkan, perihal laba dan rugi pun harus dihitung. Tentu, segala itu tidak
langsung menuju hitungan mentah. Atau hitungan-hitungan yang nampak saja, yang
menggedor mata kita semata.
Bagi
saya sendiri misalnya, penghujung tahun ini menjadi momen yang cukup membuat
was-was. Paling tidak, meski saya belum merasa ini tahun paling berarti, namun
saya merasa angka 2019 menjadi sejarah cukup panjang tersendiri dalam proses
kreatif. Baik dalam diri personal, maupun komunal bersama kerja-kerja kreatif
bersama kawan-kawan di Kendal. Ya, paling tidak ada dua jejak lawatan yang saya
kerjakan. Pertama, saat dipercaya menjalani residensi penulisan di Polewali
Mandar Sulawesi Barat selama satu bulan, dan residensi penulisan di Leiden
Belanda selama dua bulan. Belum lagi beberapa aktivitas lain yang menyita benak
dan batin, baik dalam diri maupun di luar dan di sekitar diri saya.
Sekali
lagi, meski saya kerap menganggap itu sebagai anugerah terbesar dalam tahun
ini, namun semua itu menjadi was-was tersendiri. Bagaimana selepasnya. Apa yang
akan saya kerjakan. Apa yang selanjutnya akan saya tunaikan. Paling tidak dalam
hal proses penciptaan. Saya cukup gelisah. Bagaimana kiranya dengan tahun
selanjutnya? Bagaimana dengan proses penciptaan tahun selanjutnya di angka
2020? Saya takut, jika ternyata semua akan bergulir biasa-biasa saja. Atau
bahkan semakin menurun, lebih parah dan hacur dari apa yang dikerjakan
sebelumnya. Jatuh dalam lubang yang sama!
Menarik
memang, saat-saat dalam kerja di kedua tanah residensi itu. Saya menjadi cukup
terbiasa untuk berbaik sangka dengan hitungan-hitungan. Seberapa jauh mata
memandang, seberapa pendek hati kecil menerawang, seberapa tebal ingatan dan
catatan bergandengan. Itu yang setidaknya menghinggapi saya dalam membunuh
hari-hari di tanah residensi. Dan tentu, semakin ke sini, semakin banyak hal
yang terasa belum selesai. Banyak yang harus lekas ditunaikan. Dan pastinya,
tak sedikit pula kemalasan dan kegagalan-kegagalan yang kian menggerogoti harkat
penciptaan (karya).
Meski
sungguh, jika boleh sekadar membahagiakan diri, telah banyak yang terjadi,
telah tak sedikit yang dikerjakan, terutama bersama beberapa kawan di Kendal.
Yang tentu, segala itu lebih mending jika dibandingkan dengan kerja-kerja komunitas
lain. Namun apakah semua itu cukup? Tentu tidak, boleh berbahagia sejenak.
Selepas itu, kembalilah gelisah! Jangan berharap semua akan baik-baik saja.
Jangan berharap semua akan jatuh di pangkuan dengan tiba-tiba.
Dan
semakin ke sini, saya kerap berbangga diri, saat melihat kampung halaman, di
kota kelahiran saya (Kendal) ini telah bergulir tidak sedikit aktivitas kreatif
dari berbagai kepala anak muda dan bermacam rupa komunitas. Ini sungguh
membahagiakan. Hanya saja, sepertinya selepas itu tidak cukup bahagia begitu
semata. Tidak cukup berbangga diri saja. Semua harus disambut dan dirayakan
tidak hanya dengan percuma.
Sudah
saatnya mulai menghitung. Meski paling sederhana, coba menengok diri sendiri.
Mohon maaf, ini misalnya yang sedang saya coba dan upayakan pada diri saya
sendiri. Paling tidak, sungguh biadabnya saya, jika belum apa-apa sudah merasa
tua. Sudah merasa telah mendapatkan segalanya. Dan tiba-tiba saya ingat
penggalan syair “Tong Kosong” (Slank): Sedikit
ngerti ngaku udah paham. Kerja sedikit maunya kelihatan. Otak masih kayak TK
kok ngakunya sarjana. Ngomong-ngomongin orang kayak udah jagoan.
Itu
yang bagi saya sangat bahaya. Dalam hati: “Ya Tuhan, jauhkanlah hamba dari
segala itu. Jangan sampai. Sebab bagaimana, jika misalnya itu terjadi. Saya
akan merasa telah mampu melabeli diri sendiri. Belum apa-apa sudah menyebut dan
menempeli diri dengan sebutan pengamat budaya. Belum apa-apa sudah mengaku
sebagai pemerhati bidang tertentu. Apalagi jika semua itu, dengan begitu
percaya dirinya dilabelkan dalam biodata yang ditulis sendiri. Ya Tuhan,
jauhkanlah hamba dari segala itu. Jauhkan. Belum lagi, Tuhan, jika menciptakan
sesuatu, saat mencipta karya tertentu masih ingin menghitung berapa penonton
yang hadir. Saat hamba menulis, masih menghitung berapa buku atau unggahan di
blog yang dibaca orang. Lalu hamba akan marah-marah, menggonggong penuh sesal
dan duka mendalam di status media sosial. Jauhkan hamba dari segala itu, Tuhan.
Jauhkan.”
Meski
saya yakin, segala itu pekerjaan berat. Namun sudah saatnya hitungan itu tidak
lagi dijatuhkan sekadar pada hitungan di luar kerja artistik. Buat apa? Buat
apa menghitung berapa kali menyelenggarakan festival seni? Buat apa selalu
berpusingan memaksakan diri setiap setahun sekali, sebulan sekali harus
menyelenggarakan selebrasi acara yang ujung-ujungnya hanya akan berakhir pada
foto-foto yang menjamur di media sosial semata?
Kalau
itu sebuah kerja yang dikerjakan sendiri, dengan jerih-penat sendiri, dengan
kepala sendiri, bahkan dengan menyisihkan uang sendiri. Buat apa jika masih
terjebak dalam segala hal di luar medan artistik? Buat apa tunduk dalam hitungan-hitungan
di luar medan artistik itu? Saya kira, tak ada gunanya. Itu hanya akan membuat
kita semakin lemah dalam menghitung substansi kerja kreatif kita. Lalu jika
sudah kian larut begitu, hari-hari akan terasa melelahkan. Semua akan dirasa
memuakkan. Setiap kali berjumpa dengan diri lain di luar diri kita akan kian
panas saja. Saling menyalahkan. Saling mengumpat, menabur amarah, dan segala
hal yang sia-sia. Lalu tak terasa, usia telah menjatuhkan diri kita dalam
lubang angka yang sudah cukup tua.
Dan
tiba-tiba sadar, ternyata seumur-umur hanya melakukan berbagai hal yang itu-itu
saja. Bahkan merasa kerap jatuh pada lubang yang sama. Lebih-lebih ternyata
dirasa kerap memproduksi kegagalan-kegagalan yang berulang-ulang setiap
tahunnya. Lalu kemudian yang tersisa hanya lelah yang mendarah-daging pula. Kemudian
hanya mampu menimbun kenangan yang muncul dari mulut yang dibesar-besarkan. Tak
ada riwayat jelas, tak ada jejak arsip, tak ada dokumentasi matang, tak ada
yang dibanggakan dan diwariskan kepada generasi setelahnya. Semua hanya
timbunan omong kosong belaka. Yang hanya dibesar-besarkan pula.***
—Setia Naka
Andrian,
lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis
puisi, cerita pendek, esai, resensi buku, dan beberapa aktivitas lain yang
masih biasa-biasa saja. Dapat disapa 24 jam tanpa henti melalui nomor ponsel
(WA): 085641010277, setianakaandrian@upgris.ac.id dan beberapa media sosial
yang dikelolanya.