Oleh Setia
Naka Andrian
Sore itu, 16 September 2018,
selepas memarkir motor dan tiba di Balai Kesenian Remaja (BKR) Kendal, saya
mencoba melangkahkan kaki pelan-pelan menuju ruang pameran bertajuk Identity yang digarap Sanggar Lontong
Opor (SLOP) Kendal. Sungguh kali itu saya begitu deg-degan (berdebar) bercampur
perasaan bahagia tak terkira yang begitu aneh dan lain-lain, ketika menghadiri
pameran yang digawangi SLOP Kendal selama 15 hingga 21 September 2018. Bahkan
saking bahagianya, saya dengan sengaja berniat untuk tidak mengikuti prosesi
pembukaan pamerannya. Saya sengaja, agar setidaknya saya lebih leluasa hinggapi
ruang pameran saat dibenamkan sunyi. Merayakan kebahagiaan yang hakiki, paling
tidak, ini hiburan tersendiri bagi penenun estetika kota kecil seperti saya
ini. Kehadiran saya pada hari selanjutnya di pameran tersebut pun sempat pada
pagi hari yang sangat pagi. Saat beberapa teman yang bermalam di gedung BKR
Kendal masih terlelap dalam lelah, selepas menggenjot acara pembukaan dan
meladeni tamu di hari pertama pameran.
Entah disebut laku macam apa ini,
hanya saja, saya hendak berupaya menemukan diri saya, diri di sekitar saya,
serta diri khalayak dalam pameran yang ditawarkan SLOP Kendal tersebut. Dengan
tanpa campur tangan godaan prosesi pembukaan pameran, siapa pemberi sambutan
dan siapa yang membuka pameran, atau iming-iming apa saja yang memungkinkan
dijatuhkan di dalamnya. Yang pasti, saya sepenuhnya ingin digoda oleh
karya-karya hasil ciptaan 13 perupa yang menyuguhkan karyanya. Karya-karya
ciptanya saja, bahkan tidak pula untuk godaan-godaan lain yang dimungkinkan
akan muncul dari para perupanya. Menyambut pameran ini, bagi saya, setidaknya tentu
tak lain karena ini pameran kali pertama yang terselenggara di BKR Kendal dalam
dua tahun ke belakang ini. Saat dua tahun ini memang di BKR Kendal telah cukup
riuh diramaikan beberapa aktivitas kesenian, baik dari teater, musik, sastra,
film, tari, dan lainnya. Kehadiran pameran tersebut seakan menjadi oase
tersendiri bagi khazanah jagat estetika di kota kecil serupa Kendal.
Dua tahun belakangan, baru
kali ini pameran seni rupa hinggapi BKR. Maka sungguh, saya pribadi, dan tentu
saya yakin tidak sedikit yang lain pun turut bahagia menyambut pameran ini. Meski,
secara entah kebetulan atau tidak, bahwasanya pameran SLOP Kendal ini merupakan
pameran kali pertama yang diselenggarakan kelompoknya, selama berdiri pada 29
Juni 2017. Meski sempat disampaikan oleh seorang pegiat, bahwa SLOP ini
merupakan hasil “bermetamorfosart” (baca: istilah dari Dante, pegiat SLOP) dari
Kendal Sketcher yang tentu sudah sempat berproses kreatif jauh lebih lama
sebelumnya. Saat saya memasuki ruang pameran, sontak mata saya langsung
tergoda, tak bisa mengelak untuk menerobos hingga sudut ruang pameran, dalam
tampilan karya yang dipajang memutar melingkupi dinding gedung persegi panjang dari
BKR Kendal tersebut. Karya yang menggoda mata saya kali pertama adalah lukisan karya
M. Ghilmanul Faton yang ia beri titel Destruction,
(2018, Acrylic on Canvas, 80 x 65 sentimeter).
Mata dan batin saya dijatuhkan
berkali-kali untuk khidmat dalam perjalanan imajinasi tak terduga yang entah
akan dibawa ke mana. Bahkan, Ghilman seakan menjerumuskan saya dalam dimensi
waktu yang tak menentu, mana mula, mana muaranya. Namun, tentu segala itu tak
disuguhkan Ghilman dengan semena-mena. Ia tetap memberikan tawaran atas
jalan-jalan terbaik untuk para penikmat yang sedang berasyik-masyuk menyibak karyanya.
Ghilman berbaik hati, menciptakan banyak pintu yang dapat segera dipenuh-sesaki
mata dan batin penikmat karyanya. Meski, Ghilman mengusung karyanya dalam
gerbong surealisme. Ia menjatuhkan bergelimang persoalan di sekitar perusakan,
pemusnahan, penghancuran, pembinasaan, dalam jagat kanvasnya. Ia seakan khusyuk
menekuri ragam peristiwa yang dikabarkan begitu tegas. Ia menyerukan
berita-berita penghancuran “identitas” manusia dalam sebuah “surat kabar” penuh
warna “lubang interpretasi”.
Selanjutnya, mata saya digoda
dengan kehadiran lukisan Tak Ada Kuda Troya
di Tanah Hijau karya Moch. Taufiqurrohman (2018, Acrylic on Canvas, 65 x 60
sentimeter). Dari karya tersebut, Taufiq hendak menyuarakan dan membangun
keyakinan kepada khalayak, bahwa Indonesia (Tanah Hijau) ini tak akan pernah
menemui kisah yang serupa dengan kisah Kuda Troya di Yunani. Ketika orang-orang
Yunani hendak memasuki kota Troya dan memenangkan peperangan. Taufiq telah menawarkan
“kesegaran” gagasan yang dijatuhkan dalam jagat “dominasi” hijau. Taufiq seakan
mengajak khalayak yakin, dan lekas membenamkan imajinasi masyarakat tentang
Indonesia yang akan bubar. Meski dapat kita simak, berbagai persoalan ekonomi, politik,
sosial telah muncul di mana-mana. Bahkan persoalan sangat seksi yang
berkait-paut dengan agama. Namun tidak, segalanya akan tetap baik-baik saja.
Indonesia kaya segalanya, bangsa ini sanggup mengatasinya!
Berikutnya, ada godaan lagi
yang dihadirkan dalam jagat estetika A. M. Dante dalam titel Mencuri Dengar (2018, Acrylic on Canvas,
100 x 80 sentimeter). Dante di situ menyajikan sebuah kegelisahan yang ia
tangkap di sekitarnya. Terkait peristiwa-peristiwa kekinian yang, misalnya
bertebaran di jagat media sosial. Orang-orang seakan ada saja alasan untuk
selalu ingin tahu tentang apa saja yang dialami, dilakukan, atau yang mengidap
pada diri lain. Apalagi tentang segala sesuatu yang beraroma tak sedap tentang
seseorang. Pastilah akan menjadi tranding
topic di media sosial, dengan tanda
pagar (tanda #) paling ramai digunjing, disimak, dan dibagikan orang-orang.
Meski dari karya Dante
tersebut digulirkan dalam jagat kanvasnya dengan cukup sederhana dan bernuansa
paradoksal. Ia hadirkan dengan sosok muda yang sedang “mencuri dengar” melalui
sebuah kaleng makanan instan yang ditempel rapat di telinga kiri. Dari tawaran
Dante tersebut, seakan mengguyur mata dan batin khalayak yang telah khidmat
menyimak karyanya, agar setidaknya turut serta mengamini atas segala fenomena
itu. Perihal betapa berharganya waktu yang diberikan Tuhan kepada kita, setiap
harinya, setiap jamnya, setiap menit dan setiap detiknya. Lantas, apakah segala
itu hanya akan kita habiskan untuk mengintai diri-diri lain di sekitar kita,
dan kita ikut-ikutan untuk mencatat segala yang beraroma tak sedap? Lalu kita
mencari celah untuk menyalahkannya, menghujatnya, menjatuhkannya? Dante seakan
mengajak kita untuk kembali melihat diri kita, melihat kekurangan kita, dan
tentu selanjutnya yang harus kita lakukan adalah melihat kelebihan diri lain di
sekitar kita. Bukan melihat kekurangannya!
Tiga karya tersebut, setidaknya
telah menjadi pijakan tersendiri (setidaknya) bagi saya, untuk selanjutnya memasuki
karya-karya lainnya. Meski, saya pun tak bisa mengelak, bahwasanya 11 karya
lain (dari 10 perupa, dikarenakan ada seorang perupa yang menyajikan dua karya
dalam pameran) turut serta menopang “identitas” yang ditawarkan SLOP Kendal
dalam pamerannya. B. Pecut Sumantri dalam Political
Game (2017, Acrylic on Canvas, 50 x 40 sentimeter); Didung Putra Pamungkas
dalam Petak Umpet (2017, Acrylic, Marker
on Canvas, 100 x 100 sentimeter); Maghfur Jazil dalam Tirto Kahuripan (2018, Oil on Canvas, 80 x 60 sentimeter); Nanang
Arifuddin dalam Penghuni Ruang Cinta (2018,
Charocal Powder on Canvas, 90 x 70 sentimeter); Ali Ahmad Murtadho dalam Bertaruh (2018, Acrylic, Pastel on
Canvas, 100 x 90 sentimeter); Saufit Anam dalam Confidence (2018, Acrylic on Canvas, 80 x 60 sentimeter); Lutfi
Haidani Akhsan dalam Blackletter
Freestyle (2018, Pigment Mixmedia on Canvas, 80 x 60 sentimeter); M. Rifqi
Mubarok dalam Save Me (2018, Acrylic,
Ballpoint, White Market on Canvas, 120 x 80 sentimeter); Hendriyanto PSK dalam Still Life (2018, Oil on Canvas, 45 x 60
sentimeter); dan Sukirno dalam Wanita dan
Bunga Kerta (2018, Oil on Canvas, 80 x 60 sentimeter) serta Seikat Seruni (2018, Oil and Marker on
Canvas, 80 x 60 sentimeter).
Segala identitas yang
ditawarkan para perupa telah disambut hangat oleh mata dan batin khalayak.
Mereka telah mutlak menghadirkan tubuh-tubuh identitas dalam karya-karyanya. Tubuh-tubuh
identitas yang tak hanya bergulir dari dalam diri para perupa semata. Namun
telah begitu rupa hinggap pada identitas lain, yang sepenuhnya hadir dalam tubuh-tubuh
identitas yang baru. Tubuh-tubuh identitas yang dibawa oleh “kepala” politik,
“leher” ekonomi, “tangan” sosial, “dada” agama, “jari-jari” kemanusiaan, dan
lainnya. Dari segala itu, selanjutnya berhamburanlah identitas yang dirombak,
identitas yang (barangkali) tak dikehendaki oleh mata dan batin kita sekalipun
seakan telah turut serta dihadirkan dalam karya-karya dalam pameran tersebut.
Dan perlu dicatat, segala itu dijatuhkan para perupa SLOP Kendal di jagat
kanvas dengan tidak semena-mena!***
—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari
1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang
(UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, resensi buku, dan beberapa
aktivitas lain yang masih biasa-biasa saja. Dapat disapa 24 jam tanpa henti
melalui nomor ponsel (WA): 085641010277, setianakaandrian@upgris.ac.id dan
beberapa media sosial yang dikelolanya.