Selasa, 21 April 2020

Puisi Setia Naka Andrian (Ideide.id, 21 April 2020)


Sudah Berapa Jam Lalu

Sudah berapa jam lalu,
kau tumbuh di atas punggungku
Kau menikam banyak rindu
Yang ditanam pelan
di antara catatan yang lupa
Ditanam di jalan-jalan
Menuju ketiadaanmu

Sudah berapa jam lalu,
kau telah memilih tak megunjungiku
Kau bilang,
“Sudahlah, jangan cemas
Aku telah tumbang
dalam sekejap waktu
Selepas segalamu tumbuh
di punggungku”

Demikianlah kau,
yang menjadikan kami kikir
Yang membiarkan segenap rakyatmu
terlampau fakir
untuk menentukan segala iman

Masa itu, kau begitu rupa
bergegas berlari
Jika pagi datang
dengan berjingkat begitu tinggi
Jika pagi mendesakmu
agar mengangkat lagi
kedua kaki setinggi-tinggi

Kendal, April 2018


Nama-Nama yang Berlalu

Dalam segala nama mereka
Telah disebutkan nama-namamu
yang berlalu
Doa-doa yang telah lama
tanggal di batu-batu.

Dalam segenap raga mereka
Nama-nama kerap digiring dari segala duka
Setiap pagi menyala, siapa saja melihatmu
Mengapung di sungai-sungai panjang
yang sering memilih berubah pikiran
Untuk menemukan muara yang lengang

Lihatlah, nama-nama baik telah berlalu
Doa-doa dengan napas tinggi
lebih memilih singgah
dan menggantung huruf-huruf vokalnya
Di setiap nada yang mengembang di udara
Saat setiap orang telah bergegas lari
Mendirikan badan lain,
sebelum segalanya tumbang
Menjatuhkan banyak hal di luar segala
yang tak lagi dikehendaki

Dalam segala nama-nama yang berucap
Dan dibiarkan mengembang di udara
Maka bergeletakanlah nama-nama kecilmu
di antara tubuh mereka
Sejauh mata yang telanjang
Sejauh kegagalan tumbang
di sebelah ragamu sendiri

Dan sejak saat itu, segala nama telah berlalu
Tumbang di segala arah
yang urung menunjuk kematian tubuhmu

Kendal, April 2018


Pada Mata yang Tak Lagi Retak

Pada mata yang tak lagi retak,
pada alis yang tak sempat bercabang
Kau telah mengirim kami
Dalam kedatangan yang berulang-ulang
Dan kau diam-diam
telah mengunjungi banyak risau
dalam kegundahan

Pada mata yang tak lagi retak,
Pada segala cahaya yang berlalu-lalang
Meninggalkan diri kita
Di antara segenap hujan
yang gagal menidurkanmu

Pada mata yang tak lagi retak,
Kau kembali kepada kami
Yang tiada pernah tega
Menggerakkan mata sendiri
Kau menatapi kami diam-diam
yang tak kunjung matang

Pada mata yang tak lagi retak,
pada hidung yang mencium sedalam-dalam
Kau berjalan mengunjungi kami
Kau berkata dengan pelan,
“Sudah saatnya kami menenangkan batin
dan ragamu
Yang kerap tanggal di pematang
Yang kerap berlinang
saat terik di dada tak kunjung
melambaikan tangan,”

“Pada mata yang tak lagi retak,
Pada segala yang sedang malas berkemarau
Mereka yang sekian kali menabur hujan
yang tak sempat reda,
memanjakan ketiadaan di setiap gerak luka,”

Pada mata yang tak lagi retak,
Semua memanas, membakar televisi, radio, dan koran
Semua hangus, kecuali bibir-bibir yang berdesakan
menempel di media sosial

Kendal, April 2018


Musim

Musim telah matang
Ia mengejar hujan
yang sering absen datang

Di balik telapak tangannya
yang kapalan,
musim sering menggerutu
menyaksikan banyak hutan panas
yang sering salah jadwal kunjungan
Melupakanmu, melupakan desa
dan kampung halamanmu

Kendal, April 2018


Hari Sudah Pagi

Hari sudah pagi
Sudah saatnya kita bergegas pergi
Sudahlah, tak ada lagi
yang menyegarkan matamu
Semuanya penuh lika-liku,
membakarmu,
Mengumpat segala celamu

Lihatlah di luar,
bala tentara sudah menunggu,
Berbaris pasukan berkuda
Siap mengawal dari segala udara
Dari segala napas
yang kerap mendengkur duluan

Hari sudah pagi,
Kau akan segera diajak pergi
Kepada segala yang memacu jejak
Saat orang-orang masih direkam
Dalam segala cara cepat
Untuk bergegas meruntuhkan

Kendal, April 2018


Bacakan Kepada Kami

Bacakanlah kepada kami
Ribuan angka yang jatuh
di luar kepala

Bacakanlah kepada kami
Jutaan purnama kesembilan
yang tanggal
sebelum menunda akhirnya

Bacakanlah kepada kami
Kepada segala bibir
yang tumbuh di luar suara
Kepada segala umpatan
yang menempel
di dinding-dinding kening
dan dadamu
yang kian hari
kian saling melambaikan tangan

Kendal, April 2018


Bahasa Ingin Lelap Tidur

Bahasa ingin lelap tidur
Ia sudah kangen bertemu ibunya
Dalam tidur,
Dalam mimpi
yang katanya sudah bolong-bolong

Bahasa ingin lelap tidur
Ia sudah lupa rasanya tamasya
Saat mengunjungi ragam warna
dan makna
Yang kian bertebaran, diciptakan
di sembarang dinding kamus-kamusmu
yang terbakar

Bahasa ingin lelap tidur
Ia sudah ingin menjadi sore hari
Ingin bergegas jadi waktu senyap
Yang memilih mengerami
segala kesunyian

Bahasa ingin lelap tidur
Ia merasa sudah cukup tua
untuk mengenang masa muda
yang tanggal berkali-kali di jendela

Bahasa ingin lelap tidur
Ia ingin sowan kepada para leluhurnya
Yang kabarnya, sudah tak lagi tinggal
di jendela-jendala

Kendal, April 2018


Bergegaslah Menyelam

Bergegaslah, Sayang
Bergegaslah menyelam
Dasar laut hampir tutup
Tiketmu tinggal sepenggal angin

Bergegaslah Sayang
Bergegaslah menyelam
Hari sudah hampir lepas,
pantai telah bergerak
meninggalkan segala panas

Lihat, di sana rumahmu
Yang menawarkan segenap keretakan
Bersama doa yang sedang asyik kabur
Ia telah lama menanam diri
Di atas sana, saat kami telah libur panjang
Saat segalanya telah memilih tunai duluan

Kendal, April 2018


Berjalan ke Utara

Kami lah yang berjalan ke utara itu
Kami lah pencari ladang
Yang kerap tak sempat mengaliri diri
Dengan beragam aroma bunga
Atau apa saja,
selain dari napas-napas panjangmu

Kami lah yang bergegas ke utara itu
Kami lah pejinak pematang
Yang kerap tak kunjung habiskan
cara berupa-rupa
Kami tak tahu, kapan akan menemukan
Segala ubi-ubian, jagung, atau apa saja
Yang leluasa menggerakkan tubuh

Kami lah yang bergegas ke utara itu
Yang berjalan dan tak berani
diam-diam menilai segala ketiadaanmu

Kami lah yang bergegas ke utara itu
Yang hanya mencoba menembus
Segala lubang sela-sela jari kaki
untuk menghamburkan segala rupa
Untuk selalu tunduk, dan berlutut
Di bawah nama-nama keajaibanmu

Kendal, April 2018


Berat Duka

Sudah berapa berat duka
yang ditumbuhi peluru
Sudah berapa berat suka
Ditumbuhi malu

Kami enggan bertapa lagi
Lereng gunung tak lagi asyik
Untuk menyembunyikan kekalahanmu

Sudah berapa berat duka
yang segalanya telah luput
Memikul doa kami yang kerap runtuh
Enggan memilah puncak mana
Yang pertama akan ditempuh

Sudah berapa berat duka
Yang tak lagi bisa berbuat apa-apa    
Kami kian hari seakan kian
membunuh masa depan kami sendiri

Kami sudah tak begitu akrab
Dengan duka-dukamu
Maka bergegaslah kami,
Menuju segala ketiadaan itu
Kami berlarian, menembus segala
yang tak pernah kami temukan
Dalam sekelebat nyawa
Yang diam-diam kerap mengunjungi
duka-duka itu

Kendal, April 2018


Sumber: https://ideide.id/puisi-setia-naka-andrian-2.html

Sabtu, 18 April 2020

Pagebluk dan Telur Naga Merah (Cendananews, 18 April 2020)


Pagebluk dan Telur Naga Merah
cerpen Setia Naka Andrian

Kampung tiba-tiba digegerkan kabar tentang telur yang bisa menangkal pagebluk. Desas-desus itu beredar luas. Selepas hampir tiga bulan ini virus mematikan menebar di seluruh dunia, hingga sampai di sebuah kampung terpencil yang cukup jauh dari kota.
"Kamu tahu tentang kabar telur yang manjur itu, Sul?" Tanya penasaran Sutanto Aji kepada Samsul Maarif di sebuah angkringan.
"Sepenuhnya tahu sih, tidak. Hanya kabar-kabar yang berseliweran saja. Itu pun hanya sepenggal-penggal saja. Sepertinya kabar-kabar itu kerap disampaikan dengan tidak lengkap. Tidak saya terima gamblang. Malah semakin membingungkan saja." Jawab Samsul sambil sesekali menyeruput kopi panas dari tangan kirinya. Lalu mengisap dalam-dalam keretek yang dijepit dari dua jari tangan kanannya.
"Namun saya sebenarny­­a heran, Sul. Kenapa seluruh warga percaya begitu saja." Ucap Aji dengan begitu entengnya, sambil ia menikmati gorengan yang baru saja diangkat dari wajan.
"Kenapa bisa begitu, Ji?" Samsul jadi penasaran. Ditatapnya lekat mata Aji.
"Mau bagaimana, Sul. Coba kita yang sudah hidup di tahun 2020 ini agak logis. Bagaimana bisa pagebluk ini akan berakhir begitu saja, hanya dengan sebutir telur itu? Kita tahu kan, Sul. Italia, Sul. Italia saja kesusahan menghadapi pagebluk ini.” Kian serius menyampaikan pendapatnya. Meski dengan penuh tekanan, namun suara kian diperlambat. Takut jika sampai didengar orang. “Negara-negara di Eropa yang sudah sangat maju juga susah mengusir virus mematikan ini. Seluruh dunia pusing."

Udara dingin menyergap sekujur gerobak angkringan itu. Samsul diam. Namun tetap tak berhenti menyeruput kopi pahitnya yang kian dingin. Asap dihembuskan dari mulut dan hidungnya dengan penuh kelegaan. Meski matanya seakan menerawang jauh. Entah ke mana. Aji dan Samsul duduk bersebelahan. Di sebuah kursi kayu panjang, tepat di depan gerobak angkringan.
"Mas Aji, Mas Samsul. Maaf ya, saya tadi tak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Diam-diam saat saya mengurus gorengan, kisah yang kalian bicarakan turut mengusik saya. Namun saya diam saja. Sebab takut juga kalau ikut berkomentar." Tutur Pak Ahyar, pemilik angkringan yang begitu lugu dan dikenal baik hati itu.
"Lho, takut kenapa, Pak?" Aji penasaran.
"Ya, kenapa bisa takut, Pak?" Samsul turut tanya.
“Sebentar, ya. Saya sambil mengemasi dagangan dulu. Hari sudah larut. Sebentar lagi hujan sepertinya juga akan turun.”

Aji dan Samsul kian penasaran. Mereka nampak tak sabar ingin mendengar penjelasan Pak Ahyar yang sedang berkemas memberesi dagangannya. Meski usianya sudah setengah abad lebih, namun ia masih nampak segar menjalani hari-harinya dengan berjualan hingga larut malam. Hampir setiap malam ia membuka angkringannya. Meski telah ada edaran dari pemerintah agar warung-warung ditutup. Termasuk terkait pembatasan kerumunan. Namun kampung ini cukup jauh dari pusat kota. Orang-orang keras kepala sesekali masih keluyuran. Meski sekadar untuk cari angin dan minum kopi di angkringan. Termasuk anak muda semacam Aji dan Samsul.
Angin dingin menyambar kian kencang. Langit nampak mendung, kian gelap. Aji menarik risleting jaketnya hingga leher. Samsul membetulkan dan mengencangkan gulungan sarungnya mengitari leher. Gemuruh guntur sesekali memecah suara angin yang menampari daun-daun pepohonan. Sudut perempatan jalan tempat gerobak angkringan itu memangkal pun tak ditemui orang lain selain mereka.

“Begini, Mas Aji, Mas Samsul.” Pak Ahyar mendekati kedua anak muda itu. Sontak Aji dan Samsul memberinya tempat untuk duduk bersebelahan. Keduanya antusias pasang telinga untuk lekas menadah apa saja yang akan keluar dari mulut Pak Ahyar. “Waktu itu, tengah malam hampir serupa ini. Hanya saja saat itu langit cerah. Tidak sedang hampir hujan seperti sekarang. Pak Lurah dan Ki Mahmud mampir di angkringan ini. Mereka pesan kopi panas.”
“Wah, Pak Lurah dan Ki Mahmud mau apa tengah malam mampir ke sini, Pak?” Samsul makin penasaran, hingga ia menunda niat untuk menyalakan kembali kereteknya yang baru saja mati. Aji mengangguk, memberi penguatan. Kedua mata mereka metatap ketat ke arah Pak Ahyar.
“Ada pembicaraan yang tak sengaja saya dengar malam itu. Sama persis seperti malam ini yang saya dengar dari kalian. Saya ingat, saat saya mendengar itu, tentu sebelum kabar telur itu gempar di kampung ini. Kalau tidak salah, baru satu minggu kemudian desas-desus tentang telur ini merebak ke mana-mana.” Aji dan Samsul kian khidmat. Seakan tidak ingin sepatah kata pun yang meluncur dari mulut Pak Ahyar tak tertangkap telinga mereka.
“Pak Lurah bicara sangat pelan kepada Ki Mahmud. Nampak sangat berhati-hati sekali. Seakan takut jika saya mendengar. Pak Lurah meminta tolong kepada Ki Mahmud, agar ia mau memberi petunjuk untuk menangkal pagebluk yang sedang merebak ini. Awalnya Ki Mahmud bernada menolak halus.”
“Wah, kenapa sampai menolak, Pak? Bukankah Ki Mahmud itu orang pintar yang terkenal sangat suka membantu siapa saja?” Dengan masih penuh penasaran, cerocos Samsul memutus pembicaraan Pak Ahyar begitu saja.
“Sebentar, sabar. Pasti saya lanjutkan.” Pak Ahyar sambil melihat sisi kanan dan kiri, meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun yang mengintai pembicaraan mereka. Aji dan Samsul pun turut serta memantau. “Namun Pak Lurah memohon dengan sangat, bahwa semua demi kemaslahatan. Lalu akhirnya Ki Mahmud menyampaikan sesuatu kepada Pak Lurah. Ia menyampaikan mengenai telur naga merah itu.”
Aji menyergah, “Lantas bagaimana dengan telur itu, Pak?” Samsul mengangguk, memberi penguatan.
“Ki Mahmud bilang, kalau telur naga merah diyakini bisa menangkal pagebluk yang sudah tiga bulanan ini meresahkan warga dunia. Termasuk di kampung kita ini.”
Samsul menyerobot, “Telur itu bisa didapat di mana, Pak? Sebab yang beredar selama ini, semua simpang siur.”
Aji turut bicara, “Ya, benar, Pak. Ada yang bilang telur itu bisa didapat di bawah rumah Ki Mahmud. Setelah menggali lima meter tepat di bawah pintu rumahnya.”
“Ada lagi yang bilang jika telur itu bisa ditemukan di dasar Sungai Waru. Terus ada juga yang bilang jika telur itu akan keluar dari perut seorang perempuan yang mengandung lima bulan dan ditinggal mati suaminya.” Samsul penuh meyakinkan.
“Kemarin malam, Pak Sarmuni saat ngopi di sini juga bilang, kalau telur itu akan datang dengan sendirinya di atap rumah perawan tua yang selalu gagal menikah akibat calon suaminya meninggal tanpa sebab sesaat sebelum pernikahan itu dijalani.” Pak Ahyar menambahkan.
“Nah. Itu masalahnya, Pak. Semua kabar tentang telur itu tidak ada titik temunya.” Aji menegaskan.
“Dan semua itu membuat seluruh warga di kampung ini bertanya-tanya. Selain kecemasan dan ketakutan yang kian hari kian tak karuan, kita semua juga dibuat bertanya-tanya tentang kepastian telur itu, Pak. Sesungguhnya kedua itu sama-sama meresahkan.” Samsul menambahkan.
Aji mendesak, “Malam itu Ki Mahmud tidak menyampaikan di mana telur itu bisa ditemukan, Pak?”
“Saya tak mendengar jelas dan pastinya di mana telur itu bisa didapat. Namun saat itu Ki Mahmud beberapa kali menyebut Bukit Limanan.” Jawab Pak Ahyar masih dengan nada was-was, takut jika ada yang mendengar. “Namun selanjutnya saya tak tahu. Mereka pulang, sesaat kemudian selepas Bukit Limanan disebut-sebut itu.”

Aji dan Samsul terdiam. Seakan mereka berjumpa dalam titik lamun yang sama. Seakan sama-sama menerawang Bukit Limanan yang tak jauh dengan kampung mereka. Bukit itu menjadi pembatas kampung ini dengan kampung sebelah.
Sesekali gemuruh guntur kembali memecah suasana. Dingin angin kian menampari siapa saja. Tak terkecuali Pak Ahyar, Aji, dan Samsul yang sedang serius dalam pembicaraan.

Pak Ahyar kembali melanjutkan pembicaraan yang terputus. Aji dan Samsul kembali menaruh telinga juga matanya ke arah Pak Ahyar, “Memang, selama ini kita dibuat bertanya-tanya. Berita-berita di televisi juga semakin membuat kita semua ketakutan. Setiap saat selalu saja dibakarkan kematian orang-orang terinfeksi berjatuhan. Selama tiga bulan ini saja ribuan orang di seluruh dunia telah direnggut virus mematikan itu. Meski memang warga di sini belum ada yang terinfeksi. Dan kita semua tentu tak ada yang berharap terinfeksi, kan?”
“Ya, semoga saja virus itu tidak akan sampai di sini.” Ucap Samsul sepenuh doa.
“Semoga misteri telur naga merah itu lekas terungkap.” Aji turut menaruh doa.

Petir menyambar. Pak Ahyar kaget, begitu pula Aji dan Samsul. Langit sudah nampak hampir menumpahkan seluruh airnya. Pak Ahyar mendongak ke atas, kemudian mengajak pulang, “Mas Aji, Mas Samsul, sebentar lagi hujan akan turun. Kita sudahi pembicaraan kita malam ini ya...”
Sesaat kemudian hujan turun cukup lebat. Mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Meski Aji dan Samsul masih memendam rasa penasaran. Telur naga merah di Bukit Limanan. Saat berjalan pulang, Aji dan Samsul berencana esok hari akan pergi ke Bukit Limanan.
***

Aji dan Samsul menepati rencananya untuk pergi ke Bukit Limanan. Pagi hari mereka berangkat bersama. Ditempuh dengan jalan kaki. Sebab untuk menuju ke bukit itu, mereka harus melewati tepi sungai, sawah, dan hutan. Namun saat belum jauh berjalan meninggalkan rumah mereka yang memang berdekatan, Aji menepuk pundak Samsul dan berkata, “Sul, berhenti sebentar. Lihatlah ke Balai Desa.” Bisik Aji kepada Samsul, saat melihat Pak Lurah dan Ki Mahmud sedang serius berbincang.
Akhirnya mereka berdua penasaran dan cari cara agar bisa menguping pembicaraan Pak Lurah dan Ki Mahmud. Mereka mengendap-endap melewati sebelah pagar luar Balai Desa untuk mendekat menuju tempat Pak Lurah dan Ki Mahmud duduk di depan Balai Desa.
“Saya tak habis pikir, kenapa putra Pak Romdon yang bekerja di Wuhan itu nekat pulang juga. Padahal tahu kalau bapaknya setiap malam mengajar mengaji anak-anak sekampung. Pulang diam-diam juga. Sudah seminggu ini di rumah. Sedangkan Pak Romdon juga nekat, masih mengajak anak-anak mengaji.” Pak Lurah nampak kesal, namun ia juga bimbang. “Kalau sudah begini bagaimana Ki Mahmud? Jika telur naga merah itu bisa jadi penangkal, yang akan menghalangi. Kalau ini virus sudah dibawa dan pasti menyebar ke anak-anak, juga tentu kepada orangtua mereka, apa yang akan kita harapkan dari penangkal itu? Ini sudah seharusnya tidak ditangkal lagi. Namun diobati.”
“Maaf  Pak Lurah, selama beberapa bulan ini, sejak kita di angkringan Pak Ahyar itu, sungguh saya selalu berupaya untuk melakukan berbagai cara agar bisa mendapatkan telur naga merah di Bukit Limanan. Sesuai petunjuk dari mimpi yang saya dapatkan. Namun apa daya, ternyata telur naga merah itu tak kunjung saya dapatkan.”

Sejurus kemudian, salah seorang perangkat desa datang menemui Pak Lurah, “Pak, izin menyampaikan laporan. Beberapa warga demam, batuk kering, dan kesulitan bernapas. Saat ini mereka dirawat di Puskesmas. Sebentar lagi akan dibawa ke rumah sakit kota. Dari sesak napas dan gejala yang diderita, mereka dinyatakan terinfeksi.”
Pak Lurah tak mengeluarkan sepatah kata pun, begitu pula dengan Ki Mahmud. Mata Pak Lurah menerawang jauh. Sepertinya ia merasa gagal, tak dapat berbuat banyak untuk warga desanya. Aji dan Samsul melongo, saling bertatapan.[]

Kendal, Maret 2020

Sumber: https://www.cendananews.com/2020/04/pagebluk-dan-telur-naga-merah.html

Selasa, 24 Maret 2020

Gagasan Gemilang dari Paguyuban Jomblo Pura-Pura Bahagia Indonesia Komisariat UPGRIS Menjelang Wisuda

Gagasan Gemilang dari Paguyuban Jomblo Pura-Pura Bahagia Indonesia Komisariat UPGRIS Menjelang Wisuda
Oleh Setia Naka Andrian



Ada satu persoalan cukup parah yang dialami bagi para mahasiswa jomblo. Yakni saat mereka harus menghinggapi panggung wisuda!

Coba bayangkan, pada sebuah momen yang sangat ditunggu-tunggu bagi segenap kaum intelektual kampus, namun pada saat itu hanya merayakan seorang diri. Di hadapan kedua orangtuamu, kau berdiri mematungkan badan seorang diri. Lalu banyak orang yang melihatmu mbatin dengan saksama, "Lho maaf ya, ini situ wisuda Taman Kanak-Kanak atau wisuda sarjana? Kok ya masih saya hanya ditemani orangtua semata?"

Meskipun sesungguhnya bapak/ibumu bakal mbatin pula, "Dosa apa anakku ini, ya Tuhan. Sungguh malang sekali nasibmu, Nak. Padahal kami berharap, lengkap sudah kebahagiaanmu pada saat wisuda ini. Tapi malah menjadi lengkap sudah deritamu!"

Begitulah beberapa hal yang menjadi tradisi was-was, tragedi penderitaan mendalam, atau apa saja yang kerap dikaitkan dengan seabrek hal-hal yang ngenes-ngenes. Bahkan berdasarkan hasil riset kontemporer yang dilakukan oleh Paguyuban Jomblo Pura-Pura Bahagia Indonesia Komisariat UPGRIS, menyimpulkan bahwasanya penderitaan yang dibarengi dengan kewaspadaan serupa ini sudah dialami semenjak mereka baru saja memulai menjalani kehidupan kampus. Selepas mereka lulus dari SMA!

Coba bayangkan, Mblo! Mereka sesungguhnya sudah merencanakan sedemikian rupa dengan upaya yang dirasa begitu tak terhingga untuk mencari pasangan! Dibela-belain harus melakukan pendekatan sana-sini, dibela-belain harus mengikuti kegiatan kampus ke sana-sini. Bahkan rela setiap saat menjadi ojek dadakan tanpa prabayar atau pascabayar! Namun tetap saja, segala itu tiada hasil apa-apa.

Hasil riset kontemporer itu setidaknya juga memberi jawaban signifikan, bahwa saat bimbingan skripsi berlangsung pun mereka masih saja cemas, memikirkan hendak berfoto dengan siapa saat bertoga nanti?

Akhirnya setelah berjalan beberapa kali wisuda. Selepas direnungkan sedalam-dalam, dan daripada bersusah payah memikirkan segenap peta penderitaan itu. Maka berjumpalah mereka, para jomblowan-jomblowati dengan gagasan besar yang tidak lain disengkuyung secara akbar oleh Paguyuban Jomblo Pura-Pura Bahagia Indonesia UPGRIS.

Mereka ciptakan sebuah usaha menengah ke atas ke bawah ke samping kanan dan ke kiri secara mendalam, akurat dan terpercaya. Usaha itu tak lain adalah usaha jasa sewa pasangan untuk wisuda!

Paling tidak, bagi mereka, ada kebahagiaan kecil-kecilan yang didapati sesaat selepas ritual wisuda usai dijalani. Mereka bisa berfoto dan pamer pasangan kepada orangtua dan sanak-saudara. Meskipun sesudahnya mereka akan kembali dan bermula lagi pada penderitaan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan panjang akan berjatuhan kembali, yang tak lain dari bapak/ibumu, "Mana seseorang yang sudah sempat kau ajak berfoto bersamamu saat wisuda? Yang sudah sempat kau kenalkan kepada bapak/ibu saat wisuda itu? Kapan ia akan diajak ke sini untuk membicarakan segala sesuatunya menuju ke jalan yang lebih matang?"

Foto kamu dan pasangan sewaanmu sudah terlanjur dipajang di ruang tamu. Setiap ada tamu datang pasti akan bertanya kepada bapak/ibumu. Kamu dan pacar sewaanmu tersenyum manis dan sangat bahagia. Namun sebatas dalam foto yang bersemayam di dinding itu saja. Tidak lebih. Sungguh, demi Tuhan, tidak bisa lebih dari itu.*** 

Kamis, 23 Januari 2020

JURASIK #42 (Sidang Para Menthok)


Ketika seseorang menyimak dongeng maka ia bisa membayangkan tokoh pahlawan sebagaimana imajinasinya masing-masing. Setiap orang mungkin beda membayangkan sosok pahlawannya, justru itu kelebihannya. Ruang imajinasi itu sangat luas dan tidak terbatas.



JURASIK (Jumat • Sore • Asik) #42

24 Januari 2020

19.00 sampai pedih

di Sarang Lilin
Perumahan Griya Pantura Regency Blok A. No. 4, Desa Tosari, Kec. Brangsong, Kab. Kendal.


Menyuguhkan:
"Sidang Para Menthok"
Sebuah dongeng Muhajir Arrosyid (Asal Demak, Penulis Buku Menggelar Tikar dan Menggambar Bulan dalam Gendongan)


Penampilan spesial:
Ashabul Syimal


Kami memulai dari hal kecil, dan dilakukan di kota kecil. Namun impian kami besar, Kawan!

Kamis, 09 Januari 2020

Kepada yang Bernapas Panjang


Kepada yang Bernapas Panjang


Sabtu, 23 November 2019 baru saja hinggap di layar laptop. Saya duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja kerja. Di depannya persis, ada jendela kaca yang sangat jarang dibuka. Saya biasa memandangi apa saja ke luar sana. Daun mapel berguguran. Orang-orang berlalu-lalang namun dengan langkah yang begitu sepi. Anak-anak kecil mengayuh sepeda dengan riang. Mereka berkejaran namun sama sekali tak berlomba kecepatan.

Terus saya pandangi luar sana. Semakin jauh. Bahkan sempat nyaris tenggelam dalam lamunan. Saya masih duduk. Namun seperti baru saja terbangun dari sebuah tidur pendek yang panjang. Meski sungguh, raga ini masih terjaga. Belum sampai memejamkan apa-apa.

Sedari tadi saya seperti merasakan ada yang aneh. Seakan ada yang tidak lengkap. Bahkan saya merasa janggal memposisikan tubuh saya sendiri. Ya, terus-terusan begitu. Entah kenapa, kamar menginap saya seperti dikunjungi orang-orang. Sejak berjam-jam yang lewat. Mereka nyaris mengitari saya, di samping dan belakang tubuh saya. Awalnya saya biarkan saja. Namun pelan-pelan saya penasaran, dan akhirnya saya beranikan untuk memandangi mereka satu-satu. Mereka menyambut hangat. Hangat sekali, tak sedingin 2° C di luar kaca jendela kamar. Udara nyaris beku, menjatuhkan daun-daun mapel yang menguning itu ke tanah basah.

Ini petang yang cukup aneh. Tak seperti biasanya. Sebab yang telah lalu, hanya satu-satu yang datang. Paling ya hanya mengintip dari jendela. Atau paling banter ya menempel di plafon kamar. Itu pun hadir saat saya sudah rebahan dan tersisa beberapa watt saja. Namun kali ini mereka hinggap bersamaan untuk hadir ke kamar lantai dua ini. Seperti sudah janjian saja dalam sebuah grup WhatsApp dengan diberi nama “Hinggapi Kamar Naka!”.

Bayangkan, kali ini mereka berkerumunan hadir di kamar saya. Petang-petang tengah malam pula. Ya, di kamar dalam sebuah rumah di perkampungan Waardeiland Leiden yang dipenuhi dengan rumah-rumah berdesain hampir serupa. Dinding-dinding bata terbuka yang khas rumah Belanda. Namun ingat, meskipun wujud rumah-rumahnya nyaris sama, ini bukanlah perumahan bersubsidi seperti yang saya tinggali di Kendal itu. Ya, rumah tipe 36 itu. Artinya berkamar tiga: dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Dan, berventilasi enam. Kalau di sini, berlantai tiga, berkamar lima, dan tidak berventilasi. Udara di luar keras dan beku!

Setelah memberanikan diri untuk memandangi tipis-tipis, pelan-pelan saya menyapa mereka. Meski hanya dengan mata saja. Belum bersapa suara. Takut jika nanti mengganggu penghuni lain di rumah ini. Sebab Leiden ini, saya rasakan seperti kota tua yang sunyi. Di jalanan, di pusat-pusat perbelanjaan, ruang perjumpaan manusia, semua terkesan jauh dari keriuhan suara. Apalagi saat di rumah. Belum lagi saat di jalanan kampung, seperti berjalan sendirian. Orang-orang tiada yang nongkrong membunuh waktu di luar. Entah sambil ngopi atau membakar rokok. Semua orang memilih di dalam rumah. Apalagi saat musim gugur mendekati musim dingin begini. Juara deh kalau ada yang berani berlamaan di luar. Apalagi kalau sampai dengan pakai kaos oblong!

Saya pandangi mereka satu-satu. Begitu pula kedua mata mereka dijatuhkan ke sekujur tubuh saya. Ya, saya seakan mengenal baik mereka. Banyak di antaranya begitu saya hafal, waktu-waktu lalu sering datang ke kamar ini. Meski datang sendirian, mengintip dari jendela, mengintai dari plafon, atau nyangkut di debu-debu yang nempel di layar monitor. Namun, sepertinya ada seorang yang lebih saya kenal. Ya, ia seolah juga mengenal saya. Bahkan lebih dari saya mengenalinya. Saya berpikir keras. Sesekali memejamkan mata. Kemudian membukanya lagi. Memejamkan mata lagi, dan membukanya lagi. Siapa ia sebenarnya? Mereka semua masih berdiri. Menatapku dengan hangat. Begitu pula seseorang yang saya rasa telah kenal lebih tadi. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Ya, benar. Ia mendekat. Saya tidak takut. Hanya sedikit deg-degan dan berdebar saja. Atau entah seperti apa, susah sekali menerjemahkan rasanya.

Ia kian mendekat. Sepertinya sudah sangat tua. Wajahnya seperti tak asing. Saya seakan kian akrab saja dengan wajah itu. Namun siapa ya? Sepertinya mirip dengan wajah kakek saya dari garis ibu. Ya, sepertinya tidak salah lagi. Saya begitu akrab dengan tipe wajah itu. Meski kakek saya pun telah meninggal jauh sebelum saya lahir. Saya hanya mampu melihat lukisan wajahnya di dinding kamar nenek. Itu pun sudah lama. Saat saya masih kecil. Namun entah kenapa lukisan itu saat ini sudah tak ada. Sudah hilang, dicuri orang, atau entah nenek menyimpannya rapat-rapat di tempat paling sembunyi.

Siapa ya? Aduh, kamar menginap saya ini juga tak begitu terang. Hanya nyala lampu baca saja yang bersinar. Fokus ke bawah. Sama sekali tak punya kekuatan lebih untuk menyinari sekitar. Hanya sisa-sisa cahaya saja yang menebar halus. Saya berpikir keras. Dalam hati berkecamuk. Apakah benar itu kakek buyut saya?

Lalu pelan-pelan kakek itu mendekati saya. Kian dekat saja. Sangat dekat. Namun saya tak kuasa memandanginya. Pandangan saya tujukan di layar monitor laptop. Ya, memukul-mukul huruf. Menulis catatan kecil yang sedang Anda baca ini. Kakek itu kian mendekat. Semakin dekat. Sangat dekat. Sungguh, kini berada tepat di samping kiri saya. Aduh, mau apa ini? Saya masih diam saja, membatu. Pandangan kaku di layar monitor. Namun jari-jari saya masih terus melanjutkan menulis. Ya, menulis catatan kecil ini.

“Nak, kenapa kamu di sini?”

“Maaf, maaf, Kek. Kakek bertanya kepada saya?”

“Ya, tanya kepadamu. Siapa lagi kalau bukan kepadamu?”

“Oh ya maaf, Kek. Saya kira melempar pertanyaan sembarangan saja.”

“Ya, tidaklah. Saya ini datang jauh-jauh ke sini ini serius. Sidak!”

“Ya, Kek. Sekali lagi maaf ya, Kek...”

“Ya, tak apa. Saya maafkan jauh-jauh tadi sebelum kamu minta maaf. Pertanyaan saya, kenapa kamu di sini?”

“Ya ini, Kek. Saya kan sedang residensi. Bukankah seluruh dunia tahu program residensi ini, Kek? Kok sampai kakek belum tahu?”

“Kakek kan ya sudah nggak sempat buka-buka koran atau medsos. Di akhirat sibuk. Banyak keindahan yang sayang untuk dilewatkan!”

“Oh ya, Kek. Ini saya sedang menjalani program Residensi Penulis Indonesia 2019 dari Komite Buku Nasional Kemendikbud, Kek. Selama dua bulan tinggal di Leiden ini. Menjalani riset untuk menulis sastra. Begitu, Kek.”

“Coba kamu kisahkan dengan sungguh-sungguh, seperti apa saja yang kamu lalui. Namun ingat, tetap dengan pengisahan yang segar!”

“Lantas bagaimana dengan orang-orang itu, Kek?”

“Sama saja dengan Kakek, mereka menantimu untuk berkisah.”

“Oh ya, Kek. Begini, saat berangkat residensi ini, saya sudah mengantongi kisah kecil. Lengkap dengan patahan-patahan kisah dan bercak-bercak mitos yang melingkupinya. Namun tetap saja, saya masih membawa rasa penasaran mendalam. Dan, apa boleh buat. Saya harus mengunjungi negeri penjajah ini, untuk singgah di Leiden ini dan beberapa kota lain. Berharap agar bisa membantu diri saya ini untuk menyibak lebih dalam tentang pijakan tema yang hendak saya garap. Begitu, Kek.”

“Kau memburu naik apa?”

“Sepeda, Kek. Mau naik apa lagi. Biasanya juga naik bus, kereta, atau trem. Namun mahal, Kek. Lebih sering naik sepedanya. Ya, meski sesekali naik bus, kereta, atau trem itu. Buat icip-iciplah, Kek. Kakek pasti belum pernah naik kereta dan trem, bukan? Apalagi bus, pernah? Ah, Kakek generasi lampau sih.”

“Eh, kamu tak boleh begitu. Coba saja, kamu sampai di sini naik apa?”

“Naik pesawat dari Indonesia, Kek. Kenapa memang?”

“Salah. Kamu ke sini naik sebuah kendaraan, yang bernama masa lalu. Jangan sepelekan dengan yang dinamakan masa lalu. Jangan sepelekan sesuatu yang lampau. Kamu pasti tahu apa yang dikerjakan oleh Iksaka Banu itu, bukan?”

“Wah, Kakek kenal Iksaka Banu?”

“Lha iya dong. Sesekali di akhirat ya Kakek buka youtube. Salah satu penulis idola Kakek itu ya Iksaka Banu, yang melambung dengan karya-karyanya berkait-paut dengan sejarah kolonial itu. Langganan mendapatkan penghargaan pula. Pasti dong, Kakek mengidolakan.”

“Emang Kakek sudah baca buku cerpennya terbaru, Teh dan Pengkhianat itu?”

“Ya, belum.”

“Belum kok mengaku mengidolakan?”

“Ya bagaimana lagi, di akhirat sepertinya belum dipasok. Kalau youtube kan emang gampang, tinggal ketik nama saja langsung bisa dapat kabarnya. Apalagi zaman sekarang sudah banyak acara vlog itu.”

“Oh ya tak apalah, Kek. Mending mengikuti, daripada tidak sama sekali.”

“Ya, benar. Nah, itu Iksaka Banu sempat bilang dalam sebuah acara di youtube. Intinya, saat-saat ini menarik penulisan sastra yang berpijak pada sejarah. Yah, paling tidak bisa melengkapi sejarah yang ada. Dan, sebisanya menjadi tawaran lain melalui penulisan teks sastra itu.”

“Ya, Kek. Memang benar. Semoga saja nanti bisa menemukan karya segar dari residensi ini ya, Kek. Mohon doa dan restunya selalu ya, Kek...”

“Itu pasti. Nah, yang terpenting kamu harus mematangkan pijakan datamu untuk menyokong teks sastra yang hendak kamu tulis itu. Meskipun nantinya itu karya fiksi, namun dengan kematangan fakta sejarah, pasti setidaknya akan lebih bertenaga nantinya karyamu.”

“Ya, Kek. Saat berangkat saya sudah diberi saku oleh Pak Muslichin, guru sejarah saya semasa SMA itu, Kek. Yang dulu sering bela saya saat sering bandel dan bolos sekolah..”

“Oh baik banget gurumu. Namun kelewatan juga, anak bandel dan bolosan kok dibela ya...”

“Ya, tapi kan membelanya pilih-pilih, Kek. Bandel, bolosan, namun tetap yang baik hati.... Hehe...”

“Lantas bagimana lagi kelanjutannya?”

“Oh ya, Kek. Dari guru sejarah saya itu, saya juga di beri saku oleh Soelardjo Pontjosoetirto. Ia sempat meneliti tema yang saya selami ini pada 1971. Menarik banget, Kek.”

“Bagaimana dengan Soelardjo Pontjosoetirto? Dia suka naik sepeda juga?”

“Bukan perihal suka naik sepeda, Kek. Ini kata Soelardjo Pontjosoetirto, bahwasanya pada tahun tiga puluhan, tak lain pada masa pemerintahan Hindia Belanda, orang-orang sering mendengar cerita mengenai golongan orang yang sedang saya cari, Kek. Dalam cerita tersebut dikemukakan tentang yang menarik mengenai golongan orang-orang itu. Terutama terkait dengan asal-usul golongan orang-orang itu. Meski segalanya terkait dengan cerita miring, tidak wajar, dan sekitarnya. Tentunya bagi Soelardjo Pontjosoetirto, cerita semacam itu, secara kebetulan niscaya dapat membantu pemerintahan Hindia Belanda dalam memperteguh penjajahannya.”

“Kenapa begitu?”

“Ya begitulah, Kek. Pemerintahan Hindia Belanda tentunya paham, kala itu penduduk kita begitu bermacam-macam. Dari berbagai suku dan golongan yang memiliki dan memegang teguh etnosentrisme mereka masing-masing. Suku bangsa atau golongan satu dengan lainnya saling menghina, saling merendahkan. Segala itu yang dimanfaatkan.”

“Semacam mengadu domba begitu?”

“Ya, begitulah, Kek.”

“Lantas apa lagi, Nak?”

“Ya, sebenranya saya lebih menghindar dari segala persoalan semacam itu. Sebab saya rasa akan kurang nyaman juga. Saya akan lebih menelusur pada jejak-jejak di luar itu, Kek.”

“Apa itu? Kakek penasaran!”

“Namun maaf, Kek. Saya tak bisa sepenuhnya menjelaskan sekarang.”

“Kenapa bisa begitu? Kakek kan malah jadi tambah penasaran!”

“Biar saja Kakek penasaran. Bukankah itu malah akan lebih baik. Jadi Kakek akan menunggu-nunggu. Hehe.”

“Ah, kamu bisa saja. Kalau begitu, Kakek pergi dulu ya...”

“Wah, kenapa tergesa, Kek?”

“Kakek banyak urusan yang harus lekas diselesaikan di akhirat.”

"Kek, di akhirat, apa Tuhan suka minjemin sepeda?"

Kakek diam saja. Tak menjawab apa-apa. Hanya melempar senyum kecil. Itu pun hanya sebentar. Kakek membalikkan tubuhnya. Berjalan pelan menjauh dari saya. Orang-orang lainnya membuntuti. Mereka seakan lenyap begitu saja dalam dinding kamar menginap saya.

Alarm ponsel tiba-tiba berteriak keras. Saya terbangun. Tak seperti saat masa kecil di kampung halaman, saya kerap terbangun dengan bunyi kokok ayam yang ramai sekali. Bukan dibangunkan alarm dari ponsel.[]

Selasa, 07 Januari 2020

Waktu Indonesia Bagian Bercerita

Tiga puluh tiga puisi di buku ini setidaknya menunjukkan pribadi Setia Naka Andrian yang tak kunjung lelah berurusan dengan puisi. Ada puisi yang ia tulis pada 2008 dan ada pula yang 2019. Masing-masing puisi itu mewakili satu tahap kreatif dalam hidupnya. Dan sebab membentang nyaris sebelas tahun, bisa dipahami jika perhatian Naka sangatlah beragam.



Sesekali ia begitu personal berkisah tentang kisah asmaranya. Di lain waktu ia menulis puisi untuk orang-orang yang ia hormati. Pada satu kesempatan Naka agak mengeluh tentang kondisi kota yang kelewat membuatnya hampir frustasi, dan pada kesempatan lain ia bisa begitu ingin berbincang dengan Tuhan lewat puisi-puisinya. Bamun satu yang terlihat jelas, keinginannya menulis riwayat orang-orang Kalang juga kentara di beberapa puisinya—objek yang memang tengah ia pelajari dua tahun belakangan.



Buku ini tentu saja bukan capaian puncak Naka, tetapi pantas disebut paling lengkap mencatat perjalanan puitik hingga hidupnya. Sejak Naka masih tampak semrawut semasa mahasiswa, hingga bertahun-tahun kemudian ia berubah menjadi sosok penyair sekaligus pengajar yang rajin dan beroleh kesempatan melangkahkan kaki ke Polewali Mandar dan bahkan hingga Leiden, Belanda, semata-mata demi urusan puisi.



Tentu saja perjalanannya itu semata-mata demi agar ia beroleh semacam “capaian” dalam menulis puisi. Masih jauh memang, tetapi Naka tampak sekali tak tengah bermalas-malasan untuk sampai di posisi yang hendak ia tuju itu.



Judul: Waktu Indonesia Bagian Bercerita

Penulis: Setia Naka Andrian

Tebal: 109 halaman

Penerbit Beruang, Semarang.

Pesan awal: 07  -17 Januari 2019

Harga: Rp60.000 → Rp50.000



*Khusus 100 pembeli pertama beroleh poster eksklusif bertandatangan penulis.

Pemesanan: 085292375768