Oleh Setia Naka Andrian
Lagi-lagi daerah (kecil)
mengambil bagian untuk muncul dalam peta kesastraan Indonesia. Rumah, puisi dan
penyair menjadi produksi identitas dalam berproses. Karena barangkali puisi
lahir―selanjutnya ditentukan masa depannya oleh penyair dalam rumahnya
masing-masing. Entah itu rumah yang ditinggalkan, rumah yang dipulangi, atau
bahkan rumah yang hanya mukim dalam kenangan setelah mereka menang ketika
menemukan rumah yang menculiknya.
Setelah beberapa waktu lalu di
Sragen sempat mempertemukan penyair-penyair dari seluruh Indonesia untuk
menulis puisi dengan tema seragam (Sragen), kini Kendal pun menyusul (berbunyi).
Namun di kota tersebut menggiring hal yang tak sama. Sabtu (19/1) Plataran Sastra
Kaliwungu mempertemukan beberapa penyair kelahiran Kendal yang barangkali kini
telah diculik kota lain, serta beberapa yang memilih menetap di Kendal.
Sebut saja nama besar yang
diculik kota lain dan telah dibesarkan di kota tersebut. Yakni Ahmadun Yosi Herfanda,
yang kini telah menetap di Jakarta sebagai penyair religius-sufistik. Juga
banyak menulis cerpen, kolom dan esei sastra. Sehari-hari dia mengajar pada
Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong dan ketua Komite Sastra Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ). Selanjutnya ada Gunoto Sapharie dan Mudjahirin Tohir
yang barangkali meninggalkan rumah namun tak jauh-jauh, yakni di Semarang.
Malam itu mereka bersama
penyair-penyair (muda) Kendal saling berjabat kisah mengenai proses kreatif dan
rumah kreatif (komunitas). Karena barangkali kini kota itu semakin menggeliat
dengan munculannya berbagai komunitas, sebut saja Lestra, Bongkar, Rumah Diksi,
Tebing, Omah Gores, Komik, Plataran Sastra kaliwungu, serta Lerengmedini.
Komunitas yang bergelimang itu semakin mencuat dengan tatanan sustainable community dalam
kegiatan-kegiatan bersama.
Dalam pertemuan (reuni)
tersebut, juga telah dibagikan dummy Antologi
18 Penyair asli kelahiran Kendal yang dalam waktu dekat akan terbit. Kita
berharap semua itu tidak sebatas reuni karya semata. Karena barangkali
pertemuan bukanlah sebatas pembukuan bersama. Paling tidak dengan adanya
puisi-puisi yang terkumpul, penyair-penyair yang terlibat dapat semakin membawa
diri sebagai senjata untuk melakukan ikhtiar penemuan dan permenungan lain.
***
Budaya identitas mereka
suguhkan (?). Ratusan halaman berisi puisi atas segala bentuk teriakan penyair
untuk membela dirinya sendiri, bahkan rakyat (tertindas). Penyair dengan
senjata andalan licentia poetarum melenggang-menari
dengan kebebasan mengucurkan bahasa dalam puisi-puisinya. Sejalan dengan yang
ditegaskan Teeuw (1983), bahwa bahasa yang digunakan dalam karya sastra
cenderung menyimpang dari penggunaan bahasa sehari-hari.
Lalu apakah puisi masih menjadi
puisi atau telah mampu berubah wujud menjadi identitas yang juga bakal diproduksi
masyarakat? Atau sebatas diproduksi penyair untuk dirinya sendiri saja? Ketika
puisi telah berupaya menjadi sejarah, kota, tradisi, mitos, bahkan puisi yang
sebatas menjadi pesta estetika setiap kali hadir dalam diskusi-diskusi yang
berpusingan.
Jika kita menengok lebih jauh yang
terjadi di Banyumas, karya fenomenal Ronggeng
Dukuh Paruk dari Ahmad Tohari. Identitas yang dimunculkan dari penulis
telah menjadi milik masyarakat sepenuhnya. Pembaca telah menemukan jati diri
dalam karya yang ditelurkan. Yang tidak hanya menjadi milik masyarakat sastra
Banyumas atau masyarakat umum Banyumas saja. Namun sepenuhnya telah menjadi kepunyaan
orang Indonesia dan menjadi salah satu kekayaan sastra Indonesia. Lalu kelak
apakah Kendal sanggup menemukan hal yang sama?
Barangkali
tidak menjadi persoalan untuk kota produktif semacam Kendal. Karena pada
kenyataannya kota tersebut belakangan ini telah menerbitkan beberapa antologi
puisi: Gusdurku, Gusdurmu, Gusdur kita;
Merajut Sunyi Membaca Nurani; Sogokan kepada Tuhan; Tidak Ada Titik, Masihkah Kalian Melawan?;
Tebing; serta antologi cerpen Kausal. Semoga segala itu bukan sebatas
produksi identitas yang penuh dengan kesepian-kesepiannya saja. Namun kelak
mampu menempatkan sastra sebagai aktivitas rutin yang semakin memiliki rumah
yang kuat. Kendal, khususnya Kaliwungu dengan kota santrinya, barangkali kelak
akan memunculkan sastrawan religius-sufistik semacam Ahmadun Yosi Herfanda.
Semoga.***