Pengamen Jamaah Jumat
■cerpen Setia Naka Andrian
“Allahumma shalli shalatan
kamilatan wa salim salamaan tamman 'ala sayyidinaa Muhammadin alladzi tankhallu
bihil-'uqodu wa tanfariju bihil-kurobu wa tuqdho bihi-lkhawa-'iju wa tunaalu
bihi-rroghoibu wa khusnul-khowatimi wa yustatsqol-ghomaamu bi wajhihil-karimi
wa 'ala alihi washohbihi fi kulli lamkhatin wa nafasin bi 'adadi kulli ma'luumin
laka,” begitulah yang ia lantunkan pada setiap
jumat-jumat.
Siapa pun pasti hafal
bagaimana tubuh perempuan. Undakan yang berkelok, namun bukan semacam sungai. Banyak yang bilang bentuk biola paling cocok untuk
mengingatnya. Juga perawakan semampai yang sering diidamkan lelaki sejagad. Lalu bagaimana jika perempuan itu sudah senja. Orang-orang pasti malas meliriknya.
Apalagi membayangkan untuk sekadar inspirasi ketika mandi yang biasa dilakukan anak-anak
muda saat kesepian.
Begitulah, seseorang yang kini diperbincangkan di kampung kami. Entah kami tak tahu dari mana datangnya perempuan tua yang menebar resah
itu. Ia selalu bershalawat pada setiap
hari jumat di
masjid kampung kami. Bertepatan ketika shalat jumat. Ia selalu melantunkan lagu yang sama, shalawat
Nariyah. Itu
yang kadang membuat kami gemetar.
Bagi kami ia lah orang paling misterius yang kami jumpai sepanjang
hidup. Ia sangat tak terawat. Baju yang dikenakan lusuh dan kumal. Daster yang
kebesaran dan terseret ke tanah. Tubuhnya pun seperti sudah kebal dengan panu
atau kadas. Walau terkadang kami melihatnya menggaruk-garuk beberapa petak
tubuhnya ketika ia sedang bershalawat.
Dasternya sobek-sobek berserakan dan tak khatam menutupi tubuhnya. Rambutnya yang setengah nggimbal terurai. Mencoba menelungkupi
payudaranya yang terlihat kendur serta terombang-ambing ke kanan dan kekiri, ketika
ia melangkahkan kaki atau sedikit menggerakkan tubuhnya. Payudara yang telah
kusam, sangat kotor dan pastinya juga bau. Sungguh menjijikkan. Jika harus
mengingat-ingat perempaun tua itu.
Apalagi jika ada seseorang yang sedang makan melihatnya, maka seketika orang itu pasti langsung mengaburkan mata. Bau busuknya menyengat.
Barangkali melebihi mayat yang sudah berbulan-bulan mengapung di sungai. Daster
yang dikenakan pun dipenuhi kotoran-kotoran. Kami sering menebaknya sebagai
kotorannya sendiri yang telah menghitam dan hampir mengering. Nampak semu
kekuningan yang membuat kami semakin yakin kalau yang mengotori sekujur baju
dan tubuhnya itu adalah kotorannya sendiri. Bau yang bertebaran pun kami begitu
akrab. Karena kami setiap pagi juga mengeluarkan kotoran itu. Jadi dengan
sendirinya kami hafal aroma itu.
Jika yang melihat sedang hamil, dalam hati langsung mengucap
amit-amit jabang bayi. Lalu kalau yang melihat sedang asyik dengan pacarnya,
yang perempuan berbisik kepada lelakinya, “Akankah kau masih setia kepadaku
bila aku seperti itu?”
***
Sepertinya daster yang dikenakan itu dulunya berwarna putih. Kini sudah berubah warna tanah akibat
kotoran hitam kekuningan yang menebar. Kulit pada sekujur tubuhnya pun telah disulap matahari hingga hitam pekat. Payudaranya yang pucat kotor dan mengendur serta terombang-ambing ke
kanan-kiri pun seakan menampakkan betapa tergoncang kehidupannya. Sontak, siapa pun yang melihatnya
pasti sangat ketakutan, cemas dan begitu resah akibat lengking suara yang dilantunkannya itu. Walaupun itu shalawat Nariyah. Puji-pujian untuk
meminta syafaat nabi.
Itulah sebabnya yang terkadang membuat para pengurus masjid, seluruh warga serta para kiai sepuh imam di masjid kami kebingungan setiap kali perempuan tua itu ikut
mengisi jamaah jumat, walaupun sekadar di serambinya.
Sudah beberapa bulan ini ia datang pada setiap
jumat-jumat. Seluruh
warga pun sama sekali tak tahu dari mana asalnya. Entah, barangkali ia diutus Tuhan sebagai perempuan paling
tidak seksi di dunia ini, atau apa pun. Kami sulit untuk menebak serta mengira-ira. Setiap malam kami berlarut-larut
mendiskusikan bersama seluruh warga, hanya untuk membahas keberadaan perempuan
tua itu.
Namun tetap saja tak ada yang banyak tahu tentang fenomena dadakan
itu. Walau kami sering berupaya mendatangkan orang-orang hebat secara bergantian
tiap diskusi yang kami adakan. Secara bergantian kami hadirkan orang-orang
tersohor yang ahli mistik serta orang-orang sakti, hingga ulama-ulama terkenal
yang sering muncul di televisi. Kami minta mereka untuk memberi arahan atau apa
saja yang setidaknya mampu sedikit mengurangi keresahan kami.
Namun entah, orang-orang hebat yang kami undang dengan sewa yang
cukup mahal itu tetap saja tak menyelesaikan. Malah kami sering disuguhi
petuah-petuah yang semakin tak terarah. Hingga ujung-ujungnya tetap saja menunjuknya sebatas orang gila saja.
Memang kenyataannya semacam itu. Siapa pun pasti tak jauh menudingnya sebagai orang
gila. Namun kenapa setiap hari jumat perempuan itu
selalu datang ke masjid dan bershalawat? Kenapa juga yang ia lantunkan adalah shalawat Nariyah?
Siapa pun pasti akan merinding
jika mendengarnya meliukkan shalawat tersebut. Terutama bagi warga kami yang sebagian besar muslim. Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang sering beredar ke telinga
rumah-rumah.
***
Mbah Kiai Haji Soleh, seorang imam paling sepuh di masjid kami
berpendapat. Bahwa sebenarnya tak
masalah jika ia tidak melakukannya di masjid. Ia juga tidak pernah
meminta imbalan apa-apa. Namun bila
ia mengetuk pintu dari rumah ke rumah pasti malah banyak yang merasa iba. Pasti juga tak sedikit yang merelakan sepiring nasi dan teh hangat untuk diberikannya. Tapi jika dilakukan di masjid, bagaimana warga menanggapinya? Siapa pun pasti akan mengalami keresahan yang sama. Entah itu para pengurus masjid, seluruh
warga serta para kiai sepuh pun pasti akan
tetap saja mengalami keresahan yang sama seperti halnya yang sedang kami
rasakan selama ini.
Lebih-lebih, ada warga yang tak sengaja mengamati perempuan tua itu.
Katanya, dari hari ke hari ia semakin mendekati serambi masjid. Dari jumat satu ke jumat
berikutnya, ia selalu semakin mendekat. Karena pada mulanya ia berada di luar pintu gerbang. Namun lama
kelamaan semakin terus mendekat masuk ke area masjid. Sambil tetap bershalawat dengan satu alat musik yang
terbuat dari tumpukan beberapa tutup
botol yang dipaku pada sebuah balokan kayu kecil.
Entah alat itu dibuat sendiri atau merampas dari para pengamen yang
sering berkeliaran di kampung kami. Sejauh mata kami memandang, barangkali
perempuan itu tak ada bedanya dengan pengamen-pengamen liar itu. Namun pastinya
lebih mencekam. Lantunan shalawatnya begitu menyayat dan melengking ngeri. Kian hari kami semakin cemas. Segala pertanyaan bercampur dengan isu terpanas saat ini.
Tentang
datangnya hari kiamat dengan berbagai tanda-tanda yang meraung-raung
terkabarkan pada berbagai media. Meledak-ledak di telinga kami.
***
Beberapa bulan kemudian, ketakutan kami semakin menjadi-jadi. Perempuan
tua itu kian hari semakin menuju ke area masjid. Hingga kali ini, kami sangat
kebingungan dan tak kuasa berbuat apa-apa. Ia masuk satu barisan jamaah shalat
jumat di masjid kami. Ia menelusup dengan cepat ketika adzan dikumandangkan
untuk menunaikan shalat jumat.
Ketakutan kami semakin meledak. Ia tetap bershalawat ketika kami
sudah mulai shalat. Melengkingkan shalawat dengan kondisi tubuh yang terus mengenduskan
bau busuk. Kami pun tak kuasa melihat daster dan payudaranya yang sama-sama kedodoran,
begitu kumal berwarna hitam kekuningan akibat kotorannya sendiri. Kami jijik
bercampur merasa tak enak sendiri, ketika harus shalat dengan terpaksa melihat
payudara kendur yang kotor bergelantungan terombang-ambing ke kanan-kiri.
Kami semakin tak kusyuk berserah kepada Tuhan. Gurauan anak-anak
kecil pun serentak mengumpat dengan semangat, “Orang gila! Orang gila!”
Pikiran kami melayang kemana-mana. Ketakutan bercampur kecemasan
serta keresahan yang begitu dalam. Barangkali tak terlukiskan melalui doa apa
pun. Suasana menjadi ricuh. Kami semakin sulit memusatkan pendengaran untuk
khidmad tertuju imam atau suara lengkingan shalawat perempuan itu. Juga hidung
kami sangat terganggu, ketika bau busuk benar-benar menebar ke seluruh penjuru
masjid. Hingga parfum wangi yang kami kenakan tak mampu berkutik untuk sekadar barang
sesaat menyegarkan hidung pemakainya sendiri.
***
Kami beserta seluruh warga berkumpul. Mengundang semua ustadz dan
kiai sepuh di kampung kami untuk membantu menyelesaikan masalah yang tidak bisa
dianggap ringan ini. Kami juga terpaksa mengundang para santri dari warga kami
yang telah malang melintang menimba ilmu di kota-kota santri seluruh penjuru
negeri ini. Melalui orangtuanya masing-masing, mereka disuruh pulang secara
paksa. Entah mereka akan pulang naik pesawat atau unta. Yang pasti kami sangat
berharap jika dalam diskusi nanti mereka sudah datang.
Ketika diskusi hampir dimulai, tepat pukul sepuluh malam. Mereka,
para santri telah tepat waktu untuk ikut bermusyawarah. Kebetulan kami
selenggarakan di halaman masjid tempat tragedi perempuan tua itu terjadi.
Kami berunding sangat panas. Hingga dini hari kami belum juga
menemukan jalan keluar. Kami sempat putus asa untuk menanggulangi kehadiran
perempuan tua itu. Namun kemudian ada warga yang nyeletuk, “Bagaimana kalau masjid dipindah saja? Kita bongkar dan dibangun
lagi di tempat lain.”
Akhirnya seluruh warga menyetujui ide dari salah seorang warga kami.
Semua sepakat, termasuk para pengurus
masjid, para santri, serta seluruh kiai sepuh yang menjadi
imam di masjid kami.
***
Keesokan harinya, kami membongkar dan memindahkan masjid sesuai
kesepakatan musyawarah malam itu. Kami mengevakuasi masjid beserta seisinya.
Kami gunakan kembali barang-barang yang masih layak pakai, dan kami tinggalkan
jika sudah tidak layak. Untungnya bahan-bahan pokok bangunan, batu-batu pondasi
dan batu bata masih dapat kami gunakan kembali. Termasuk juga keramik yang
masih dapat kami bongkar, dan hanya sedikit saja yang pecah ketika kami congkel
satu persatu.
***
Pada suatu jumat, masjid sederhana telah dapat kami gunakan untuk kembali
berjamaah. Walau masih belum sempurna jadi, namun sudah dapat kami naungi untuk
beribadah. Masjid yang kelak akan menjadi sejarah tersendiri bagi anak dan cucu
kami.
Seusai jumatan, kami merasa suasana semakin pagi. Hari begitu cerah.
Secara tidak sengaja kami bersama-sama berjalan menuju area masjid yang lama.
Kaki kami seakan memutar sendiri untuk menyambangi tempat bersejarah itu. Semua
serentak mengikuti. Karena bagaimanapun inilah hari jumat pertama kami
berjamaah shalat jumat di masjid yang baru saja kami pindahkan.
Selepas sampai di depan area masjid lama, kami melihat perempuan tua
itu berdiri tepat pada titik yang dulu digunakan sebagai tempat imam memimpin
jamaah. Ia berdiri tegak. Tetap mengumandangankan shalawat. Namun kali ini jauh
lebih melengking dari sebelumnya.***
Sanggargema, Juli 2015