Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Kamis, 23 Januari 2020
JURASIK #42 (Sidang Para Menthok)
Ketika seseorang menyimak dongeng maka ia bisa membayangkan tokoh pahlawan sebagaimana imajinasinya masing-masing. Setiap orang mungkin beda membayangkan sosok pahlawannya, justru itu kelebihannya. Ruang imajinasi itu sangat luas dan tidak terbatas.
•
•
•
JURASIK (Jumat • Sore • Asik) #42
•
24 Januari 2020
•
19.00 sampai pedih
•
di Sarang Lilin
Perumahan Griya Pantura Regency Blok A. No. 4, Desa Tosari, Kec. Brangsong, Kab. Kendal.
•
•
Menyuguhkan:
"Sidang Para Menthok"
Sebuah dongeng Muhajir Arrosyid (Asal Demak, Penulis Buku Menggelar Tikar dan Menggambar Bulan dalam Gendongan)
•
•
Penampilan spesial:
Ashabul Syimal
•
•
Kami memulai dari hal kecil, dan dilakukan di kota kecil. Namun impian kami besar, Kawan!
Kamis, 09 Januari 2020
Kepada yang Bernapas Panjang
Kepada
yang Bernapas Panjang
Sabtu, 23
November 2019 baru saja hinggap di layar laptop. Saya duduk di sebuah kursi
yang berhadapan dengan meja kerja. Di depannya persis, ada jendela kaca yang
sangat jarang dibuka. Saya biasa memandangi apa saja ke luar sana. Daun mapel
berguguran. Orang-orang berlalu-lalang namun dengan langkah yang begitu sepi.
Anak-anak kecil mengayuh sepeda dengan riang. Mereka berkejaran namun sama
sekali tak berlomba kecepatan.
Terus saya
pandangi luar sana. Semakin jauh. Bahkan sempat nyaris tenggelam dalam lamunan.
Saya masih duduk. Namun seperti baru saja terbangun dari sebuah tidur pendek
yang panjang. Meski sungguh, raga ini masih terjaga. Belum sampai memejamkan
apa-apa.
Sedari tadi saya
seperti merasakan ada yang aneh. Seakan ada yang tidak lengkap. Bahkan saya
merasa janggal memposisikan tubuh saya sendiri. Ya, terus-terusan begitu. Entah
kenapa, kamar menginap saya seperti dikunjungi orang-orang. Sejak berjam-jam
yang lewat. Mereka nyaris mengitari saya, di samping dan belakang tubuh saya.
Awalnya saya biarkan saja. Namun pelan-pelan saya penasaran, dan akhirnya saya
beranikan untuk memandangi mereka satu-satu. Mereka menyambut hangat. Hangat
sekali, tak sedingin 2° C di luar kaca jendela kamar. Udara nyaris beku,
menjatuhkan daun-daun mapel yang menguning itu ke tanah basah.
Ini petang yang
cukup aneh. Tak seperti biasanya. Sebab yang telah lalu, hanya satu-satu yang
datang. Paling ya hanya mengintip dari jendela. Atau paling banter ya menempel
di plafon kamar. Itu pun hadir saat saya sudah rebahan dan tersisa beberapa
watt saja. Namun kali ini mereka hinggap bersamaan untuk hadir ke kamar lantai
dua ini. Seperti sudah janjian saja dalam sebuah grup WhatsApp dengan diberi
nama “Hinggapi Kamar Naka!”.
Bayangkan, kali
ini mereka berkerumunan hadir di kamar saya. Petang-petang tengah malam pula. Ya,
di kamar dalam sebuah rumah di perkampungan Waardeiland
Leiden yang dipenuhi dengan rumah-rumah berdesain hampir serupa. Dinding-dinding
bata terbuka yang khas rumah Belanda. Namun ingat, meskipun wujud
rumah-rumahnya nyaris sama, ini bukanlah perumahan bersubsidi seperti yang saya
tinggali di Kendal itu. Ya, rumah tipe 36 itu. Artinya berkamar tiga: dua kamar
tidur dan satu kamar mandi. Dan, berventilasi enam. Kalau di sini, berlantai
tiga, berkamar lima, dan tidak berventilasi. Udara di luar keras dan beku!
Setelah
memberanikan diri untuk memandangi tipis-tipis, pelan-pelan saya menyapa
mereka. Meski hanya dengan mata saja. Belum bersapa suara. Takut jika nanti mengganggu
penghuni lain di rumah ini. Sebab Leiden ini, saya rasakan seperti kota tua
yang sunyi. Di jalanan, di pusat-pusat perbelanjaan, ruang perjumpaan manusia,
semua terkesan jauh dari keriuhan suara. Apalagi saat di rumah. Belum lagi saat
di jalanan kampung, seperti berjalan sendirian. Orang-orang tiada yang nongkrong
membunuh waktu di luar. Entah sambil ngopi atau membakar rokok. Semua orang
memilih di dalam rumah. Apalagi saat musim gugur mendekati musim dingin begini.
Juara deh kalau ada yang berani berlamaan di luar. Apalagi kalau sampai dengan
pakai kaos oblong!
Saya pandangi
mereka satu-satu. Begitu pula kedua mata mereka dijatuhkan ke sekujur tubuh
saya. Ya, saya seakan mengenal baik mereka. Banyak di antaranya begitu saya
hafal, waktu-waktu lalu sering datang ke kamar ini. Meski datang sendirian,
mengintip dari jendela, mengintai dari plafon, atau nyangkut di debu-debu yang
nempel di layar monitor. Namun, sepertinya ada seorang yang lebih saya kenal.
Ya, ia seolah juga mengenal saya. Bahkan lebih dari saya mengenalinya. Saya
berpikir keras. Sesekali memejamkan mata. Kemudian membukanya lagi. Memejamkan
mata lagi, dan membukanya lagi. Siapa ia sebenarnya? Mereka semua masih berdiri.
Menatapku dengan hangat. Begitu pula seseorang yang saya rasa telah kenal lebih
tadi. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Ya, benar. Ia mendekat. Saya tidak
takut. Hanya sedikit deg-degan dan berdebar saja. Atau entah seperti apa, susah
sekali menerjemahkan rasanya.
Ia kian
mendekat. Sepertinya sudah sangat tua. Wajahnya seperti tak asing. Saya seakan kian
akrab saja dengan wajah itu. Namun siapa ya? Sepertinya mirip dengan wajah kakek
saya dari garis ibu. Ya, sepertinya tidak salah lagi. Saya begitu akrab dengan
tipe wajah itu. Meski kakek saya pun telah meninggal jauh sebelum saya lahir.
Saya hanya mampu melihat lukisan wajahnya di dinding kamar nenek. Itu pun sudah
lama. Saat saya masih kecil. Namun entah kenapa lukisan itu saat ini sudah tak
ada. Sudah hilang, dicuri orang, atau entah nenek menyimpannya rapat-rapat di
tempat paling sembunyi.
Siapa ya? Aduh,
kamar menginap saya ini juga tak begitu terang. Hanya nyala lampu baca saja
yang bersinar. Fokus ke bawah. Sama sekali tak punya kekuatan lebih untuk
menyinari sekitar. Hanya sisa-sisa cahaya saja yang menebar halus. Saya
berpikir keras. Dalam hati berkecamuk. Apakah benar itu kakek buyut saya?
Lalu pelan-pelan
kakek itu mendekati saya. Kian dekat saja. Sangat dekat. Namun saya tak kuasa memandanginya.
Pandangan saya tujukan di layar monitor laptop. Ya, memukul-mukul huruf.
Menulis catatan kecil yang sedang Anda baca ini. Kakek itu kian mendekat. Semakin
dekat. Sangat dekat. Sungguh, kini berada tepat di samping kiri saya. Aduh, mau
apa ini? Saya masih diam saja, membatu. Pandangan kaku di layar monitor. Namun
jari-jari saya masih terus melanjutkan menulis. Ya, menulis catatan kecil ini.
“Nak, kenapa
kamu di sini?”
“Maaf, maaf,
Kek. Kakek bertanya kepada saya?”
“Ya, tanya kepadamu.
Siapa lagi kalau bukan kepadamu?”
“Oh ya maaf,
Kek. Saya kira melempar pertanyaan sembarangan saja.”
“Ya, tidaklah.
Saya ini datang jauh-jauh ke sini ini serius. Sidak!”
“Ya, Kek. Sekali
lagi maaf ya, Kek...”
“Ya, tak apa.
Saya maafkan jauh-jauh tadi sebelum kamu minta maaf. Pertanyaan saya, kenapa
kamu di sini?”
“Ya ini, Kek.
Saya kan sedang residensi. Bukankah seluruh dunia tahu program residensi ini,
Kek? Kok sampai kakek belum tahu?”
“Kakek kan ya
sudah nggak sempat buka-buka koran atau medsos. Di akhirat sibuk. Banyak
keindahan yang sayang untuk dilewatkan!”
“Oh ya, Kek. Ini
saya sedang menjalani program Residensi Penulis Indonesia 2019 dari Komite Buku
Nasional Kemendikbud, Kek. Selama dua bulan tinggal di Leiden ini. Menjalani
riset untuk menulis sastra. Begitu, Kek.”
“Coba kamu
kisahkan dengan sungguh-sungguh, seperti apa saja yang kamu lalui. Namun ingat,
tetap dengan pengisahan yang segar!”
“Lantas
bagaimana dengan orang-orang itu, Kek?”
“Sama saja
dengan Kakek, mereka menantimu untuk berkisah.”
“Oh ya, Kek.
Begini, saat berangkat residensi ini, saya sudah mengantongi kisah kecil.
Lengkap dengan patahan-patahan kisah dan bercak-bercak mitos yang
melingkupinya. Namun tetap saja, saya masih membawa rasa penasaran mendalam.
Dan, apa boleh buat. Saya harus mengunjungi negeri penjajah ini, untuk singgah
di Leiden ini dan beberapa kota lain. Berharap agar bisa membantu diri saya ini
untuk menyibak lebih dalam tentang pijakan tema yang hendak saya garap. Begitu,
Kek.”
“Kau memburu
naik apa?”
“Sepeda, Kek.
Mau naik apa lagi. Biasanya juga naik bus, kereta, atau trem. Namun mahal, Kek.
Lebih sering naik sepedanya. Ya, meski sesekali naik bus, kereta, atau trem
itu. Buat icip-iciplah, Kek. Kakek pasti belum pernah naik kereta dan trem,
bukan? Apalagi bus, pernah? Ah, Kakek generasi lampau sih.”
“Eh, kamu tak
boleh begitu. Coba saja, kamu sampai di sini naik apa?”
“Naik pesawat
dari Indonesia, Kek. Kenapa memang?”
“Salah. Kamu ke
sini naik sebuah kendaraan, yang bernama masa lalu. Jangan sepelekan dengan
yang dinamakan masa lalu. Jangan sepelekan sesuatu yang lampau. Kamu pasti tahu
apa yang dikerjakan oleh Iksaka Banu itu, bukan?”
“Wah, Kakek
kenal Iksaka Banu?”
“Lha iya dong.
Sesekali di akhirat ya Kakek buka youtube. Salah satu penulis idola Kakek itu
ya Iksaka Banu, yang melambung dengan karya-karyanya berkait-paut dengan
sejarah kolonial itu. Langganan mendapatkan penghargaan pula. Pasti dong, Kakek
mengidolakan.”
“Emang Kakek
sudah baca buku cerpennya terbaru, Teh dan Pengkhianat itu?”
“Ya, belum.”
“Belum kok
mengaku mengidolakan?”
“Ya bagaimana
lagi, di akhirat sepertinya belum dipasok. Kalau youtube kan emang gampang,
tinggal ketik nama saja langsung bisa dapat kabarnya. Apalagi zaman sekarang
sudah banyak acara vlog itu.”
“Oh ya tak
apalah, Kek. Mending mengikuti, daripada tidak sama sekali.”
“Ya, benar. Nah,
itu Iksaka Banu sempat bilang dalam sebuah acara di youtube. Intinya, saat-saat
ini menarik penulisan sastra yang berpijak pada sejarah. Yah, paling tidak bisa
melengkapi sejarah yang ada. Dan, sebisanya menjadi tawaran lain melalui
penulisan teks sastra itu.”
“Ya, Kek. Memang
benar. Semoga saja nanti bisa menemukan karya segar dari residensi ini ya, Kek.
Mohon doa dan restunya selalu ya, Kek...”
“Itu pasti. Nah,
yang terpenting kamu harus mematangkan pijakan datamu untuk menyokong teks
sastra yang hendak kamu tulis itu. Meskipun nantinya itu karya fiksi, namun
dengan kematangan fakta sejarah, pasti setidaknya akan lebih bertenaga nantinya
karyamu.”
“Ya, Kek. Saat
berangkat saya sudah diberi saku oleh Pak Muslichin, guru sejarah saya semasa
SMA itu, Kek. Yang dulu sering bela saya saat sering bandel dan bolos
sekolah..”
“Oh baik banget
gurumu. Namun kelewatan juga, anak bandel dan bolosan kok dibela ya...”
“Ya, tapi kan
membelanya pilih-pilih, Kek. Bandel, bolosan, namun tetap yang baik hati.... Hehe...”
“Lantas bagimana
lagi kelanjutannya?”
“Oh ya, Kek.
Dari guru sejarah saya itu, saya juga di beri saku oleh Soelardjo
Pontjosoetirto. Ia sempat meneliti tema yang saya selami ini pada 1971. Menarik
banget, Kek.”
“Bagaimana
dengan Soelardjo Pontjosoetirto? Dia suka naik sepeda juga?”
“Bukan perihal
suka naik sepeda, Kek. Ini kata Soelardjo Pontjosoetirto, bahwasanya pada tahun
tiga puluhan, tak lain pada masa pemerintahan Hindia Belanda, orang-orang
sering mendengar cerita mengenai golongan orang yang sedang saya cari, Kek. Dalam
cerita tersebut dikemukakan tentang yang menarik mengenai golongan orang-orang
itu. Terutama terkait dengan asal-usul golongan orang-orang itu. Meski
segalanya terkait dengan cerita miring, tidak wajar, dan sekitarnya. Tentunya
bagi Soelardjo Pontjosoetirto, cerita semacam itu, secara kebetulan niscaya
dapat membantu pemerintahan Hindia Belanda dalam memperteguh penjajahannya.”
“Kenapa begitu?”
“Ya begitulah,
Kek. Pemerintahan Hindia Belanda tentunya paham, kala itu penduduk kita begitu
bermacam-macam. Dari berbagai suku dan golongan yang memiliki dan memegang
teguh etnosentrisme mereka masing-masing. Suku bangsa atau golongan satu dengan
lainnya saling menghina, saling merendahkan. Segala itu yang dimanfaatkan.”
“Semacam mengadu
domba begitu?”
“Ya, begitulah,
Kek.”
“Lantas apa
lagi, Nak?”
“Ya, sebenranya
saya lebih menghindar dari segala persoalan semacam itu. Sebab saya rasa akan
kurang nyaman juga. Saya akan lebih menelusur pada jejak-jejak di luar itu,
Kek.”
“Apa itu? Kakek
penasaran!”
“Namun maaf,
Kek. Saya tak bisa sepenuhnya menjelaskan sekarang.”
“Kenapa bisa
begitu? Kakek kan malah jadi tambah penasaran!”
“Biar saja Kakek
penasaran. Bukankah itu malah akan lebih baik. Jadi Kakek akan menunggu-nunggu.
Hehe.”
“Ah, kamu bisa
saja. Kalau begitu, Kakek pergi dulu ya...”
“Wah, kenapa
tergesa, Kek?”
“Kakek banyak
urusan yang harus lekas diselesaikan di akhirat.”
"Kek, di
akhirat, apa Tuhan suka minjemin sepeda?"
Kakek diam saja.
Tak menjawab apa-apa. Hanya melempar senyum kecil. Itu pun hanya sebentar.
Kakek membalikkan tubuhnya. Berjalan pelan menjauh dari saya. Orang-orang
lainnya membuntuti. Mereka seakan lenyap begitu saja dalam dinding kamar menginap
saya.
Alarm ponsel
tiba-tiba berteriak keras. Saya terbangun. Tak seperti saat masa kecil di kampung
halaman, saya kerap terbangun dengan bunyi kokok ayam yang ramai sekali. Bukan
dibangunkan alarm dari ponsel.[]
Selasa, 07 Januari 2020
Waktu Indonesia Bagian Bercerita
Tiga puluh tiga puisi di buku ini setidaknya menunjukkan pribadi Setia Naka Andrian yang tak kunjung lelah berurusan dengan puisi. Ada puisi yang ia tulis pada 2008 dan ada pula yang 2019. Masing-masing puisi itu mewakili satu tahap kreatif dalam hidupnya. Dan sebab membentang nyaris sebelas tahun, bisa dipahami jika perhatian Naka sangatlah beragam.
Sesekali ia begitu personal berkisah tentang kisah asmaranya. Di lain waktu ia menulis puisi untuk orang-orang yang ia hormati. Pada satu kesempatan Naka agak mengeluh tentang kondisi kota yang kelewat membuatnya hampir frustasi, dan pada kesempatan lain ia bisa begitu ingin berbincang dengan Tuhan lewat puisi-puisinya. Bamun satu yang terlihat jelas, keinginannya menulis riwayat orang-orang Kalang juga kentara di beberapa puisinya—objek yang memang tengah ia pelajari dua tahun belakangan.
Buku ini tentu saja bukan capaian puncak Naka, tetapi pantas disebut paling lengkap mencatat perjalanan puitik hingga hidupnya. Sejak Naka masih tampak semrawut semasa mahasiswa, hingga bertahun-tahun kemudian ia berubah menjadi sosok penyair sekaligus pengajar yang rajin dan beroleh kesempatan melangkahkan kaki ke Polewali Mandar dan bahkan hingga Leiden, Belanda, semata-mata demi urusan puisi.
Tentu saja perjalanannya itu semata-mata demi agar ia beroleh semacam “capaian” dalam menulis puisi. Masih jauh memang, tetapi Naka tampak sekali tak tengah bermalas-malasan untuk sampai di posisi yang hendak ia tuju itu.
Judul: Waktu Indonesia Bagian Bercerita
Penulis: Setia Naka Andrian
Tebal: 109 halaman
Penerbit Beruang, Semarang.
Pesan awal: 07 -17 Januari 2019
Harga: Rp60.000 → Rp50.000
*Khusus 100 pembeli pertama beroleh poster eksklusif bertandatangan penulis.
Pemesanan: 085292375768
Sesekali ia begitu personal berkisah tentang kisah asmaranya. Di lain waktu ia menulis puisi untuk orang-orang yang ia hormati. Pada satu kesempatan Naka agak mengeluh tentang kondisi kota yang kelewat membuatnya hampir frustasi, dan pada kesempatan lain ia bisa begitu ingin berbincang dengan Tuhan lewat puisi-puisinya. Bamun satu yang terlihat jelas, keinginannya menulis riwayat orang-orang Kalang juga kentara di beberapa puisinya—objek yang memang tengah ia pelajari dua tahun belakangan.
Buku ini tentu saja bukan capaian puncak Naka, tetapi pantas disebut paling lengkap mencatat perjalanan puitik hingga hidupnya. Sejak Naka masih tampak semrawut semasa mahasiswa, hingga bertahun-tahun kemudian ia berubah menjadi sosok penyair sekaligus pengajar yang rajin dan beroleh kesempatan melangkahkan kaki ke Polewali Mandar dan bahkan hingga Leiden, Belanda, semata-mata demi urusan puisi.
Tentu saja perjalanannya itu semata-mata demi agar ia beroleh semacam “capaian” dalam menulis puisi. Masih jauh memang, tetapi Naka tampak sekali tak tengah bermalas-malasan untuk sampai di posisi yang hendak ia tuju itu.
Judul: Waktu Indonesia Bagian Bercerita
Penulis: Setia Naka Andrian
Tebal: 109 halaman
Penerbit Beruang, Semarang.
Pesan awal: 07 -17 Januari 2019
Harga: Rp60.000 → Rp50.000
*Khusus 100 pembeli pertama beroleh poster eksklusif bertandatangan penulis.
Pemesanan: 085292375768
Senin, 06 Januari 2020
Tubuh Identitas di Jagat Kanvas
Tubuh Identitas di Jagat Kanvas
Oleh Setia
Naka Andrian
Sore itu, 16 September 2018,
selepas memarkir motor dan tiba di Balai Kesenian Remaja (BKR) Kendal, saya
mencoba melangkahkan kaki pelan-pelan menuju ruang pameran bertajuk Identity yang digarap Sanggar Lontong
Opor (SLOP) Kendal. Sungguh kali itu saya begitu deg-degan (berdebar) bercampur
perasaan bahagia tak terkira yang begitu aneh dan lain-lain, ketika menghadiri
pameran yang digawangi SLOP Kendal selama 15 hingga 21 September 2018. Bahkan
saking bahagianya, saya dengan sengaja berniat untuk tidak mengikuti prosesi
pembukaan pamerannya. Saya sengaja, agar setidaknya saya lebih leluasa hinggapi
ruang pameran saat dibenamkan sunyi. Merayakan kebahagiaan yang hakiki, paling
tidak, ini hiburan tersendiri bagi penenun estetika kota kecil seperti saya
ini. Kehadiran saya pada hari selanjutnya di pameran tersebut pun sempat pada
pagi hari yang sangat pagi. Saat beberapa teman yang bermalam di gedung BKR
Kendal masih terlelap dalam lelah, selepas menggenjot acara pembukaan dan
meladeni tamu di hari pertama pameran.
Entah disebut laku macam apa ini,
hanya saja, saya hendak berupaya menemukan diri saya, diri di sekitar saya,
serta diri khalayak dalam pameran yang ditawarkan SLOP Kendal tersebut. Dengan
tanpa campur tangan godaan prosesi pembukaan pameran, siapa pemberi sambutan
dan siapa yang membuka pameran, atau iming-iming apa saja yang memungkinkan
dijatuhkan di dalamnya. Yang pasti, saya sepenuhnya ingin digoda oleh
karya-karya hasil ciptaan 13 perupa yang menyuguhkan karyanya. Karya-karya
ciptanya saja, bahkan tidak pula untuk godaan-godaan lain yang dimungkinkan
akan muncul dari para perupanya. Menyambut pameran ini, bagi saya, setidaknya tentu
tak lain karena ini pameran kali pertama yang terselenggara di BKR Kendal dalam
dua tahun ke belakang ini. Saat dua tahun ini memang di BKR Kendal telah cukup
riuh diramaikan beberapa aktivitas kesenian, baik dari teater, musik, sastra,
film, tari, dan lainnya. Kehadiran pameran tersebut seakan menjadi oase
tersendiri bagi khazanah jagat estetika di kota kecil serupa Kendal.
Dua tahun belakangan, baru
kali ini pameran seni rupa hinggapi BKR. Maka sungguh, saya pribadi, dan tentu
saya yakin tidak sedikit yang lain pun turut bahagia menyambut pameran ini. Meski,
secara entah kebetulan atau tidak, bahwasanya pameran SLOP Kendal ini merupakan
pameran kali pertama yang diselenggarakan kelompoknya, selama berdiri pada 29
Juni 2017. Meski sempat disampaikan oleh seorang pegiat, bahwa SLOP ini
merupakan hasil “bermetamorfosart” (baca: istilah dari Dante, pegiat SLOP) dari
Kendal Sketcher yang tentu sudah sempat berproses kreatif jauh lebih lama
sebelumnya. Saat saya memasuki ruang pameran, sontak mata saya langsung
tergoda, tak bisa mengelak untuk menerobos hingga sudut ruang pameran, dalam
tampilan karya yang dipajang memutar melingkupi dinding gedung persegi panjang dari
BKR Kendal tersebut. Karya yang menggoda mata saya kali pertama adalah lukisan karya
M. Ghilmanul Faton yang ia beri titel Destruction,
(2018, Acrylic on Canvas, 80 x 65 sentimeter).
Mata dan batin saya dijatuhkan
berkali-kali untuk khidmat dalam perjalanan imajinasi tak terduga yang entah
akan dibawa ke mana. Bahkan, Ghilman seakan menjerumuskan saya dalam dimensi
waktu yang tak menentu, mana mula, mana muaranya. Namun, tentu segala itu tak
disuguhkan Ghilman dengan semena-mena. Ia tetap memberikan tawaran atas
jalan-jalan terbaik untuk para penikmat yang sedang berasyik-masyuk menyibak karyanya.
Ghilman berbaik hati, menciptakan banyak pintu yang dapat segera dipenuh-sesaki
mata dan batin penikmat karyanya. Meski, Ghilman mengusung karyanya dalam
gerbong surealisme. Ia menjatuhkan bergelimang persoalan di sekitar perusakan,
pemusnahan, penghancuran, pembinasaan, dalam jagat kanvasnya. Ia seakan khusyuk
menekuri ragam peristiwa yang dikabarkan begitu tegas. Ia menyerukan
berita-berita penghancuran “identitas” manusia dalam sebuah “surat kabar” penuh
warna “lubang interpretasi”.
Selanjutnya, mata saya digoda
dengan kehadiran lukisan Tak Ada Kuda Troya
di Tanah Hijau karya Moch. Taufiqurrohman (2018, Acrylic on Canvas, 65 x 60
sentimeter). Dari karya tersebut, Taufiq hendak menyuarakan dan membangun
keyakinan kepada khalayak, bahwa Indonesia (Tanah Hijau) ini tak akan pernah
menemui kisah yang serupa dengan kisah Kuda Troya di Yunani. Ketika orang-orang
Yunani hendak memasuki kota Troya dan memenangkan peperangan. Taufiq telah menawarkan
“kesegaran” gagasan yang dijatuhkan dalam jagat “dominasi” hijau. Taufiq seakan
mengajak khalayak yakin, dan lekas membenamkan imajinasi masyarakat tentang
Indonesia yang akan bubar. Meski dapat kita simak, berbagai persoalan ekonomi, politik,
sosial telah muncul di mana-mana. Bahkan persoalan sangat seksi yang
berkait-paut dengan agama. Namun tidak, segalanya akan tetap baik-baik saja.
Indonesia kaya segalanya, bangsa ini sanggup mengatasinya!
Berikutnya, ada godaan lagi
yang dihadirkan dalam jagat estetika A. M. Dante dalam titel Mencuri Dengar (2018, Acrylic on Canvas,
100 x 80 sentimeter). Dante di situ menyajikan sebuah kegelisahan yang ia
tangkap di sekitarnya. Terkait peristiwa-peristiwa kekinian yang, misalnya
bertebaran di jagat media sosial. Orang-orang seakan ada saja alasan untuk
selalu ingin tahu tentang apa saja yang dialami, dilakukan, atau yang mengidap
pada diri lain. Apalagi tentang segala sesuatu yang beraroma tak sedap tentang
seseorang. Pastilah akan menjadi tranding
topic di media sosial, dengan tanda
pagar (tanda #) paling ramai digunjing, disimak, dan dibagikan orang-orang.
Meski dari karya Dante
tersebut digulirkan dalam jagat kanvasnya dengan cukup sederhana dan bernuansa
paradoksal. Ia hadirkan dengan sosok muda yang sedang “mencuri dengar” melalui
sebuah kaleng makanan instan yang ditempel rapat di telinga kiri. Dari tawaran
Dante tersebut, seakan mengguyur mata dan batin khalayak yang telah khidmat
menyimak karyanya, agar setidaknya turut serta mengamini atas segala fenomena
itu. Perihal betapa berharganya waktu yang diberikan Tuhan kepada kita, setiap
harinya, setiap jamnya, setiap menit dan setiap detiknya. Lantas, apakah segala
itu hanya akan kita habiskan untuk mengintai diri-diri lain di sekitar kita,
dan kita ikut-ikutan untuk mencatat segala yang beraroma tak sedap? Lalu kita
mencari celah untuk menyalahkannya, menghujatnya, menjatuhkannya? Dante seakan
mengajak kita untuk kembali melihat diri kita, melihat kekurangan kita, dan
tentu selanjutnya yang harus kita lakukan adalah melihat kelebihan diri lain di
sekitar kita. Bukan melihat kekurangannya!
Tiga karya tersebut, setidaknya
telah menjadi pijakan tersendiri (setidaknya) bagi saya, untuk selanjutnya memasuki
karya-karya lainnya. Meski, saya pun tak bisa mengelak, bahwasanya 11 karya
lain (dari 10 perupa, dikarenakan ada seorang perupa yang menyajikan dua karya
dalam pameran) turut serta menopang “identitas” yang ditawarkan SLOP Kendal
dalam pamerannya. B. Pecut Sumantri dalam Political
Game (2017, Acrylic on Canvas, 50 x 40 sentimeter); Didung Putra Pamungkas
dalam Petak Umpet (2017, Acrylic, Marker
on Canvas, 100 x 100 sentimeter); Maghfur Jazil dalam Tirto Kahuripan (2018, Oil on Canvas, 80 x 60 sentimeter); Nanang
Arifuddin dalam Penghuni Ruang Cinta (2018,
Charocal Powder on Canvas, 90 x 70 sentimeter); Ali Ahmad Murtadho dalam Bertaruh (2018, Acrylic, Pastel on
Canvas, 100 x 90 sentimeter); Saufit Anam dalam Confidence (2018, Acrylic on Canvas, 80 x 60 sentimeter); Lutfi
Haidani Akhsan dalam Blackletter
Freestyle (2018, Pigment Mixmedia on Canvas, 80 x 60 sentimeter); M. Rifqi
Mubarok dalam Save Me (2018, Acrylic,
Ballpoint, White Market on Canvas, 120 x 80 sentimeter); Hendriyanto PSK dalam Still Life (2018, Oil on Canvas, 45 x 60
sentimeter); dan Sukirno dalam Wanita dan
Bunga Kerta (2018, Oil on Canvas, 80 x 60 sentimeter) serta Seikat Seruni (2018, Oil and Marker on
Canvas, 80 x 60 sentimeter).
Segala identitas yang
ditawarkan para perupa telah disambut hangat oleh mata dan batin khalayak.
Mereka telah mutlak menghadirkan tubuh-tubuh identitas dalam karya-karyanya. Tubuh-tubuh
identitas yang tak hanya bergulir dari dalam diri para perupa semata. Namun
telah begitu rupa hinggap pada identitas lain, yang sepenuhnya hadir dalam tubuh-tubuh
identitas yang baru. Tubuh-tubuh identitas yang dibawa oleh “kepala” politik,
“leher” ekonomi, “tangan” sosial, “dada” agama, “jari-jari” kemanusiaan, dan
lainnya. Dari segala itu, selanjutnya berhamburanlah identitas yang dirombak,
identitas yang (barangkali) tak dikehendaki oleh mata dan batin kita sekalipun
seakan telah turut serta dihadirkan dalam karya-karya dalam pameran tersebut.
Dan perlu dicatat, segala itu dijatuhkan para perupa SLOP Kendal di jagat
kanvas dengan tidak semena-mena!***
—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari
1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang
(UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, resensi buku, dan beberapa
aktivitas lain yang masih biasa-biasa saja. Dapat disapa 24 jam tanpa henti
melalui nomor ponsel (WA): 085641010277, setianakaandrian@upgris.ac.id dan
beberapa media sosial yang dikelolanya.
Rabu, 01 Januari 2020
Waktu Indonesia Bagian Bercerita (Penerbit Beruang, Januari 2019)
Dulu, dulu sekali. Kau sudah mahir membaca. Sedangkan aku masih belajar mengeja. Lalu selanjutnya, kau telah mahir bicara apa saja. Sedangkan aku hanya mendengarkan segala yang keluar dari mulutmu yang begitu tralala.
•
•
•
Selamat datang, Waktu Indonesia Bagian Bercerita. Semoga semua bahagia menyambut semesta dalam angka genap 2020 ini...
•
•
•
Selamat datang, Waktu Indonesia Bagian Bercerita. Semoga semua bahagia menyambut semesta dalam angka genap 2020 ini...
Senin, 30 Desember 2019
Segala tentang Hitungan
Segala tentang Hitungan
Oleh Setia
Naka Andrian
Angka
2019 akan segera bergeser menjadi angka genap 2020. Tentu tak sedikit di antara
kita yang turut serta menyambutnya dengan serius, biasa saja, atau bahkan
menolaknya. Ada yang menyambut sekadarnya. Berdiam diri di depan rumah, sambil
menanti tabur kembang api yang dipaksa meledak dari kejauhan. Atau menyambut
serius dan berharap tidak biasa-biasa saja, berharap tidak selesai begitu saja
atau hilang dengan begitu cepatnya.
Misalnya
saja yang (akan) dikerjakan (dihimpun) oleh Tanjung Alim Sucahya dan Andaru
Mahayekti. Ya, dua anak muda jomblo yang sempat mengaku diri mereka masih
berantakan itu. Jumat (27 Desember) lalu memang saya berjumpa mereka di
Bojonggede, desa lahir dan tinggalnya Tanjung. Saat itu kami berbincang tentang
beberapa hal, lalu gelisah, lalu ingat angka tahun, ingat laku dalam diri
personal dan komunal.
Cukup
panjang perbincangan dan berderet kegelisahan yang kami panjatkan. Akhirnya,
selepas makan siang di sebuah warung, bersepakatlah untuk membuat sebuah
terbitan (bundelan) yang dicetak terbatas untuk menyambut pergantian tahun. Ya,
saya cukup bahagia, ketika Tanjung dan Andaru mengetuk palu. Meski dengan
was-was.
Dan
kali ini, di ujung angka bulan ini, saya ingin turut serta menyambutnya dengan
catatan pendek, sederhana, biasa-biasa saja ini. Yang mengusik saya, tentu
perihal hitungan. Sungguh, hitungan begitu kentara mengusik benak dan batin
saya kali ini. Barangkali juga Anda, atau bisa jadi tidak sama sekali.
Meski
jika boleh sedikit menepi dan menyingkir sejenak, hitungan itu bukan hak kita.
Ada Yang Maha Menghitung, yang akan mengakhiri segala penjumlahan gerak
hidup-mati kita. Namun dalam medan proses kreatif, kita harus berani menghitung
itu. Bahkan, perihal laba dan rugi pun harus dihitung. Tentu, segala itu tidak
langsung menuju hitungan mentah. Atau hitungan-hitungan yang nampak saja, yang
menggedor mata kita semata.
Bagi
saya sendiri misalnya, penghujung tahun ini menjadi momen yang cukup membuat
was-was. Paling tidak, meski saya belum merasa ini tahun paling berarti, namun
saya merasa angka 2019 menjadi sejarah cukup panjang tersendiri dalam proses
kreatif. Baik dalam diri personal, maupun komunal bersama kerja-kerja kreatif
bersama kawan-kawan di Kendal. Ya, paling tidak ada dua jejak lawatan yang saya
kerjakan. Pertama, saat dipercaya menjalani residensi penulisan di Polewali
Mandar Sulawesi Barat selama satu bulan, dan residensi penulisan di Leiden
Belanda selama dua bulan. Belum lagi beberapa aktivitas lain yang menyita benak
dan batin, baik dalam diri maupun di luar dan di sekitar diri saya.
Sekali
lagi, meski saya kerap menganggap itu sebagai anugerah terbesar dalam tahun
ini, namun semua itu menjadi was-was tersendiri. Bagaimana selepasnya. Apa yang
akan saya kerjakan. Apa yang selanjutnya akan saya tunaikan. Paling tidak dalam
hal proses penciptaan. Saya cukup gelisah. Bagaimana kiranya dengan tahun
selanjutnya? Bagaimana dengan proses penciptaan tahun selanjutnya di angka
2020? Saya takut, jika ternyata semua akan bergulir biasa-biasa saja. Atau
bahkan semakin menurun, lebih parah dan hacur dari apa yang dikerjakan
sebelumnya. Jatuh dalam lubang yang sama!
Menarik
memang, saat-saat dalam kerja di kedua tanah residensi itu. Saya menjadi cukup
terbiasa untuk berbaik sangka dengan hitungan-hitungan. Seberapa jauh mata
memandang, seberapa pendek hati kecil menerawang, seberapa tebal ingatan dan
catatan bergandengan. Itu yang setidaknya menghinggapi saya dalam membunuh
hari-hari di tanah residensi. Dan tentu, semakin ke sini, semakin banyak hal
yang terasa belum selesai. Banyak yang harus lekas ditunaikan. Dan pastinya,
tak sedikit pula kemalasan dan kegagalan-kegagalan yang kian menggerogoti harkat
penciptaan (karya).
Meski
sungguh, jika boleh sekadar membahagiakan diri, telah banyak yang terjadi,
telah tak sedikit yang dikerjakan, terutama bersama beberapa kawan di Kendal.
Yang tentu, segala itu lebih mending jika dibandingkan dengan kerja-kerja komunitas
lain. Namun apakah semua itu cukup? Tentu tidak, boleh berbahagia sejenak.
Selepas itu, kembalilah gelisah! Jangan berharap semua akan baik-baik saja.
Jangan berharap semua akan jatuh di pangkuan dengan tiba-tiba.
Dan
semakin ke sini, saya kerap berbangga diri, saat melihat kampung halaman, di
kota kelahiran saya (Kendal) ini telah bergulir tidak sedikit aktivitas kreatif
dari berbagai kepala anak muda dan bermacam rupa komunitas. Ini sungguh
membahagiakan. Hanya saja, sepertinya selepas itu tidak cukup bahagia begitu
semata. Tidak cukup berbangga diri saja. Semua harus disambut dan dirayakan
tidak hanya dengan percuma.
Sudah
saatnya mulai menghitung. Meski paling sederhana, coba menengok diri sendiri.
Mohon maaf, ini misalnya yang sedang saya coba dan upayakan pada diri saya
sendiri. Paling tidak, sungguh biadabnya saya, jika belum apa-apa sudah merasa
tua. Sudah merasa telah mendapatkan segalanya. Dan tiba-tiba saya ingat
penggalan syair “Tong Kosong” (Slank): Sedikit
ngerti ngaku udah paham. Kerja sedikit maunya kelihatan. Otak masih kayak TK
kok ngakunya sarjana. Ngomong-ngomongin orang kayak udah jagoan.
Itu
yang bagi saya sangat bahaya. Dalam hati: “Ya Tuhan, jauhkanlah hamba dari
segala itu. Jangan sampai. Sebab bagaimana, jika misalnya itu terjadi. Saya
akan merasa telah mampu melabeli diri sendiri. Belum apa-apa sudah menyebut dan
menempeli diri dengan sebutan pengamat budaya. Belum apa-apa sudah mengaku
sebagai pemerhati bidang tertentu. Apalagi jika semua itu, dengan begitu
percaya dirinya dilabelkan dalam biodata yang ditulis sendiri. Ya Tuhan,
jauhkanlah hamba dari segala itu. Jauhkan. Belum lagi, Tuhan, jika menciptakan
sesuatu, saat mencipta karya tertentu masih ingin menghitung berapa penonton
yang hadir. Saat hamba menulis, masih menghitung berapa buku atau unggahan di
blog yang dibaca orang. Lalu hamba akan marah-marah, menggonggong penuh sesal
dan duka mendalam di status media sosial. Jauhkan hamba dari segala itu, Tuhan.
Jauhkan.”
Meski
saya yakin, segala itu pekerjaan berat. Namun sudah saatnya hitungan itu tidak
lagi dijatuhkan sekadar pada hitungan di luar kerja artistik. Buat apa? Buat
apa menghitung berapa kali menyelenggarakan festival seni? Buat apa selalu
berpusingan memaksakan diri setiap setahun sekali, sebulan sekali harus
menyelenggarakan selebrasi acara yang ujung-ujungnya hanya akan berakhir pada
foto-foto yang menjamur di media sosial semata?
Kalau
itu sebuah kerja yang dikerjakan sendiri, dengan jerih-penat sendiri, dengan
kepala sendiri, bahkan dengan menyisihkan uang sendiri. Buat apa jika masih
terjebak dalam segala hal di luar medan artistik? Buat apa tunduk dalam hitungan-hitungan
di luar medan artistik itu? Saya kira, tak ada gunanya. Itu hanya akan membuat
kita semakin lemah dalam menghitung substansi kerja kreatif kita. Lalu jika
sudah kian larut begitu, hari-hari akan terasa melelahkan. Semua akan dirasa
memuakkan. Setiap kali berjumpa dengan diri lain di luar diri kita akan kian
panas saja. Saling menyalahkan. Saling mengumpat, menabur amarah, dan segala
hal yang sia-sia. Lalu tak terasa, usia telah menjatuhkan diri kita dalam
lubang angka yang sudah cukup tua.
Dan
tiba-tiba sadar, ternyata seumur-umur hanya melakukan berbagai hal yang itu-itu
saja. Bahkan merasa kerap jatuh pada lubang yang sama. Lebih-lebih ternyata
dirasa kerap memproduksi kegagalan-kegagalan yang berulang-ulang setiap
tahunnya. Lalu kemudian yang tersisa hanya lelah yang mendarah-daging pula. Kemudian
hanya mampu menimbun kenangan yang muncul dari mulut yang dibesar-besarkan. Tak
ada riwayat jelas, tak ada jejak arsip, tak ada dokumentasi matang, tak ada
yang dibanggakan dan diwariskan kepada generasi setelahnya. Semua hanya
timbunan omong kosong belaka. Yang hanya dibesar-besarkan pula.***
—Setia Naka
Andrian,
lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis
puisi, cerita pendek, esai, resensi buku, dan beberapa aktivitas lain yang
masih biasa-biasa saja. Dapat disapa 24 jam tanpa henti melalui nomor ponsel
(WA): 085641010277, setianakaandrian@upgris.ac.id dan beberapa media sosial
yang dikelolanya.
Langganan:
Postingan (Atom)