Sudah Berapa Jam Lalu
Sudah
berapa jam lalu,
kau
tumbuh di atas punggungku
Kau
menikam banyak rindu
Yang
ditanam pelan
di
antara catatan yang lupa
Ditanam
di jalan-jalan
Menuju
ketiadaanmu
Sudah
berapa jam lalu,
kau
telah memilih tak megunjungiku
Kau
bilang,
“Sudahlah,
jangan cemas
Aku
telah tumbang
dalam
sekejap waktu
Selepas
segalamu tumbuh
di
punggungku”
Demikianlah
kau,
yang
menjadikan kami kikir
Yang
membiarkan segenap rakyatmu
terlampau
fakir
untuk
menentukan segala iman
Masa
itu, kau begitu rupa
bergegas
berlari
Jika
pagi datang
dengan
berjingkat begitu tinggi
Jika
pagi mendesakmu
agar
mengangkat lagi
kedua
kaki setinggi-tinggi
Kendal,
April 2018
Nama-Nama yang Berlalu
Dalam
segala nama mereka
Telah
disebutkan nama-namamu
yang
berlalu
Doa-doa
yang telah lama
tanggal
di batu-batu.
Dalam
segenap raga mereka
Nama-nama
kerap digiring dari segala duka
Setiap
pagi menyala, siapa saja melihatmu
Mengapung
di sungai-sungai panjang
yang
sering memilih berubah pikiran
Untuk
menemukan muara yang lengang
Lihatlah,
nama-nama baik telah berlalu
Doa-doa
dengan napas tinggi
lebih
memilih singgah
dan
menggantung huruf-huruf vokalnya
Di
setiap nada yang mengembang di udara
Saat
setiap orang telah bergegas lari
Mendirikan
badan lain,
sebelum
segalanya tumbang
Menjatuhkan
banyak hal di luar segala
yang
tak lagi dikehendaki
Dalam
segala nama-nama yang berucap
Dan
dibiarkan mengembang di udara
Maka
bergeletakanlah nama-nama kecilmu
di
antara tubuh mereka
Sejauh
mata yang telanjang
Sejauh
kegagalan tumbang
di
sebelah ragamu sendiri
Dan
sejak saat itu, segala nama telah berlalu
Tumbang
di segala arah
yang
urung menunjuk kematian tubuhmu
Kendal,
April 2018
Pada Mata yang Tak Lagi Retak
Pada
mata yang tak lagi retak,
pada
alis yang tak sempat bercabang
Kau
telah mengirim kami
Dalam
kedatangan yang berulang-ulang
Dan
kau diam-diam
telah
mengunjungi banyak risau
dalam
kegundahan
Pada
mata yang tak lagi retak,
Pada
segala cahaya yang berlalu-lalang
Meninggalkan
diri kita
Di
antara segenap hujan
yang
gagal menidurkanmu
Pada
mata yang tak lagi retak,
Kau
kembali kepada kami
Yang
tiada pernah tega
Menggerakkan
mata sendiri
Kau
menatapi kami diam-diam
yang
tak kunjung matang
Pada
mata yang tak lagi retak,
pada
hidung yang mencium sedalam-dalam
Kau
berjalan mengunjungi kami
Kau
berkata dengan pelan,
“Sudah
saatnya kami menenangkan batin
dan
ragamu
Yang
kerap tanggal di pematang
Yang
kerap berlinang
saat
terik di dada tak kunjung
melambaikan
tangan,”
“Pada
mata yang tak lagi retak,
Pada
segala yang sedang malas berkemarau
Mereka
yang sekian kali menabur hujan
yang
tak sempat reda,
memanjakan
ketiadaan di setiap gerak luka,”
Pada
mata yang tak lagi retak,
Semua
memanas, membakar televisi, radio, dan koran
Semua
hangus, kecuali bibir-bibir yang berdesakan
menempel
di media sosial
Kendal,
April 2018
Musim
Musim
telah matang
Ia
mengejar hujan
yang
sering absen datang
Di
balik telapak tangannya
yang
kapalan,
musim
sering menggerutu
menyaksikan
banyak hutan panas
yang
sering salah jadwal kunjungan
Melupakanmu,
melupakan desa
dan
kampung halamanmu
Kendal,
April 2018
Hari Sudah Pagi
Hari
sudah pagi
Sudah
saatnya kita bergegas pergi
Sudahlah,
tak ada lagi
yang
menyegarkan matamu
Semuanya
penuh lika-liku,
membakarmu,
Mengumpat
segala celamu
Lihatlah
di luar,
bala
tentara sudah menunggu,
Berbaris
pasukan berkuda
Siap
mengawal dari segala udara
Dari
segala napas
yang
kerap mendengkur duluan
Hari
sudah pagi,
Kau
akan segera diajak pergi
Kepada
segala yang memacu jejak
Saat
orang-orang masih direkam
Dalam
segala cara cepat
Untuk
bergegas meruntuhkan
Kendal,
April 2018
Bacakan Kepada Kami
Bacakanlah
kepada kami
Ribuan
angka yang jatuh
di
luar kepala
Bacakanlah
kepada kami
Jutaan
purnama kesembilan
yang
tanggal
sebelum
menunda akhirnya
Bacakanlah
kepada kami
Kepada
segala bibir
yang
tumbuh di luar suara
Kepada
segala umpatan
yang
menempel
di
dinding-dinding kening
dan
dadamu
yang
kian hari
kian
saling melambaikan tangan
Kendal,
April 2018
Bahasa Ingin Lelap Tidur
Bahasa
ingin lelap tidur
Ia
sudah kangen bertemu ibunya
Dalam
tidur,
Dalam
mimpi
yang
katanya sudah bolong-bolong
Bahasa
ingin lelap tidur
Ia
sudah lupa rasanya tamasya
Saat
mengunjungi ragam warna
dan
makna
Yang
kian bertebaran, diciptakan
di
sembarang dinding kamus-kamusmu
yang
terbakar
Bahasa
ingin lelap tidur
Ia
sudah ingin menjadi sore hari
Ingin
bergegas jadi waktu senyap
Yang
memilih mengerami
segala
kesunyian
Bahasa
ingin lelap tidur
Ia
merasa sudah cukup tua
untuk
mengenang masa muda
yang
tanggal berkali-kali di jendela
Bahasa
ingin lelap tidur
Ia
ingin sowan kepada para leluhurnya
Yang
kabarnya, sudah tak lagi tinggal
di
jendela-jendala
Kendal,
April 2018
Bergegaslah Menyelam
Bergegaslah,
Sayang
Bergegaslah
menyelam
Dasar
laut hampir tutup
Tiketmu
tinggal sepenggal angin
Bergegaslah
Sayang
Bergegaslah
menyelam
Hari
sudah hampir lepas,
pantai
telah bergerak
meninggalkan
segala panas
Lihat,
di sana rumahmu
Yang
menawarkan segenap keretakan
Bersama
doa yang sedang asyik kabur
Ia
telah lama menanam diri
Di
atas sana, saat kami telah libur panjang
Saat
segalanya telah memilih tunai duluan
Kendal,
April 2018
Berjalan ke Utara
Kami
lah yang berjalan ke utara itu
Kami
lah pencari ladang
Yang
kerap tak sempat mengaliri diri
Dengan
beragam aroma bunga
Atau
apa saja,
selain
dari napas-napas panjangmu
Kami
lah yang bergegas ke utara itu
Kami
lah pejinak pematang
Yang
kerap tak kunjung habiskan
cara
berupa-rupa
Kami
tak tahu, kapan akan menemukan
Segala
ubi-ubian, jagung, atau apa saja
Yang
leluasa menggerakkan tubuh
Kami
lah yang bergegas ke utara itu
Yang
berjalan dan tak berani
diam-diam
menilai segala ketiadaanmu
Kami
lah yang bergegas ke utara itu
Yang
hanya mencoba menembus
Segala
lubang sela-sela jari kaki
untuk
menghamburkan segala rupa
Untuk
selalu tunduk, dan berlutut
Di
bawah nama-nama keajaibanmu
Kendal,
April 2018
Berat Duka
Sudah
berapa berat duka
yang
ditumbuhi peluru
Sudah
berapa berat suka
Ditumbuhi
malu
Kami
enggan bertapa lagi
Lereng
gunung tak lagi asyik
Untuk
menyembunyikan kekalahanmu
Sudah
berapa berat duka
yang
segalanya telah luput
Memikul
doa kami yang kerap runtuh
Enggan
memilah puncak mana
Yang
pertama akan ditempuh
Sudah
berapa berat duka
Yang
tak lagi bisa berbuat apa-apa
Kami
kian hari seakan kian
membunuh
masa depan kami sendiri
Kami
sudah tak begitu akrab
Dengan
duka-dukamu
Maka
bergegaslah kami,
Menuju
segala ketiadaan itu
Kami
berlarian, menembus segala
yang
tak pernah kami temukan
Dalam
sekelebat nyawa
Yang
diam-diam kerap mengunjungi
duka-duka
itu
Kendal,
April 2018