Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Sabtu, 16 Mei 2020
Lelucon dan Migrasi Bahasa Stiker (Tribun Jateng, 16 Mei 2020)
Sumber: https://jateng.tribunnews.com/2020/05/16/opini-setia-naka-andrian-lelucon-dan-migrasi-bahasa-stiker
Selasa, 21 April 2020
Puisi Setia Naka Andrian (Ideide.id, 21 April 2020)
Sudah Berapa Jam Lalu
Sudah
berapa jam lalu,
kau
tumbuh di atas punggungku
Kau
menikam banyak rindu
Yang
ditanam pelan
di
antara catatan yang lupa
Ditanam
di jalan-jalan
Menuju
ketiadaanmu
Sudah
berapa jam lalu,
kau
telah memilih tak megunjungiku
Kau
bilang,
“Sudahlah,
jangan cemas
Aku
telah tumbang
dalam
sekejap waktu
Selepas
segalamu tumbuh
di
punggungku”
Demikianlah
kau,
yang
menjadikan kami kikir
Yang
membiarkan segenap rakyatmu
terlampau
fakir
untuk
menentukan segala iman
Masa
itu, kau begitu rupa
bergegas
berlari
Jika
pagi datang
dengan
berjingkat begitu tinggi
Jika
pagi mendesakmu
agar
mengangkat lagi
kedua
kaki setinggi-tinggi
Kendal,
April 2018
Nama-Nama yang Berlalu
Dalam
segala nama mereka
Telah
disebutkan nama-namamu
yang
berlalu
Doa-doa
yang telah lama
tanggal
di batu-batu.
Dalam
segenap raga mereka
Nama-nama
kerap digiring dari segala duka
Setiap
pagi menyala, siapa saja melihatmu
Mengapung
di sungai-sungai panjang
yang
sering memilih berubah pikiran
Untuk
menemukan muara yang lengang
Lihatlah,
nama-nama baik telah berlalu
Doa-doa
dengan napas tinggi
lebih
memilih singgah
dan
menggantung huruf-huruf vokalnya
Di
setiap nada yang mengembang di udara
Saat
setiap orang telah bergegas lari
Mendirikan
badan lain,
sebelum
segalanya tumbang
Menjatuhkan
banyak hal di luar segala
yang
tak lagi dikehendaki
Dalam
segala nama-nama yang berucap
Dan
dibiarkan mengembang di udara
Maka
bergeletakanlah nama-nama kecilmu
di
antara tubuh mereka
Sejauh
mata yang telanjang
Sejauh
kegagalan tumbang
di
sebelah ragamu sendiri
Dan
sejak saat itu, segala nama telah berlalu
Tumbang
di segala arah
yang
urung menunjuk kematian tubuhmu
Kendal,
April 2018
Pada Mata yang Tak Lagi Retak
Pada
mata yang tak lagi retak,
pada
alis yang tak sempat bercabang
Kau
telah mengirim kami
Dalam
kedatangan yang berulang-ulang
Dan
kau diam-diam
telah
mengunjungi banyak risau
dalam
kegundahan
Pada
mata yang tak lagi retak,
Pada
segala cahaya yang berlalu-lalang
Meninggalkan
diri kita
Di
antara segenap hujan
yang
gagal menidurkanmu
Pada
mata yang tak lagi retak,
Kau
kembali kepada kami
Yang
tiada pernah tega
Menggerakkan
mata sendiri
Kau
menatapi kami diam-diam
yang
tak kunjung matang
Pada
mata yang tak lagi retak,
pada
hidung yang mencium sedalam-dalam
Kau
berjalan mengunjungi kami
Kau
berkata dengan pelan,
“Sudah
saatnya kami menenangkan batin
dan
ragamu
Yang
kerap tanggal di pematang
Yang
kerap berlinang
saat
terik di dada tak kunjung
melambaikan
tangan,”
“Pada
mata yang tak lagi retak,
Pada
segala yang sedang malas berkemarau
Mereka
yang sekian kali menabur hujan
yang
tak sempat reda,
memanjakan
ketiadaan di setiap gerak luka,”
Pada
mata yang tak lagi retak,
Semua
memanas, membakar televisi, radio, dan koran
Semua
hangus, kecuali bibir-bibir yang berdesakan
menempel
di media sosial
Kendal,
April 2018
Musim
Musim
telah matang
Ia
mengejar hujan
yang
sering absen datang
Di
balik telapak tangannya
yang
kapalan,
musim
sering menggerutu
menyaksikan
banyak hutan panas
yang
sering salah jadwal kunjungan
Melupakanmu,
melupakan desa
dan
kampung halamanmu
Kendal,
April 2018
Hari Sudah Pagi
Hari
sudah pagi
Sudah
saatnya kita bergegas pergi
Sudahlah,
tak ada lagi
yang
menyegarkan matamu
Semuanya
penuh lika-liku,
membakarmu,
Mengumpat
segala celamu
Lihatlah
di luar,
bala
tentara sudah menunggu,
Berbaris
pasukan berkuda
Siap
mengawal dari segala udara
Dari
segala napas
yang
kerap mendengkur duluan
Hari
sudah pagi,
Kau
akan segera diajak pergi
Kepada
segala yang memacu jejak
Saat
orang-orang masih direkam
Dalam
segala cara cepat
Untuk
bergegas meruntuhkan
Kendal,
April 2018
Bacakan Kepada Kami
Bacakanlah
kepada kami
Ribuan
angka yang jatuh
di
luar kepala
Bacakanlah
kepada kami
Jutaan
purnama kesembilan
yang
tanggal
sebelum
menunda akhirnya
Bacakanlah
kepada kami
Kepada
segala bibir
yang
tumbuh di luar suara
Kepada
segala umpatan
yang
menempel
di
dinding-dinding kening
dan
dadamu
yang
kian hari
kian
saling melambaikan tangan
Kendal,
April 2018
Bahasa Ingin Lelap Tidur
Bahasa
ingin lelap tidur
Ia
sudah kangen bertemu ibunya
Dalam
tidur,
Dalam
mimpi
yang
katanya sudah bolong-bolong
Bahasa
ingin lelap tidur
Ia
sudah lupa rasanya tamasya
Saat
mengunjungi ragam warna
dan
makna
Yang
kian bertebaran, diciptakan
di
sembarang dinding kamus-kamusmu
yang
terbakar
Bahasa
ingin lelap tidur
Ia
sudah ingin menjadi sore hari
Ingin
bergegas jadi waktu senyap
Yang
memilih mengerami
segala
kesunyian
Bahasa
ingin lelap tidur
Ia
merasa sudah cukup tua
untuk
mengenang masa muda
yang
tanggal berkali-kali di jendela
Bahasa
ingin lelap tidur
Ia
ingin sowan kepada para leluhurnya
Yang
kabarnya, sudah tak lagi tinggal
di
jendela-jendala
Kendal,
April 2018
Bergegaslah Menyelam
Bergegaslah,
Sayang
Bergegaslah
menyelam
Dasar
laut hampir tutup
Tiketmu
tinggal sepenggal angin
Bergegaslah
Sayang
Bergegaslah
menyelam
Hari
sudah hampir lepas,
pantai
telah bergerak
meninggalkan
segala panas
Lihat,
di sana rumahmu
Yang
menawarkan segenap keretakan
Bersama
doa yang sedang asyik kabur
Ia
telah lama menanam diri
Di
atas sana, saat kami telah libur panjang
Saat
segalanya telah memilih tunai duluan
Kendal,
April 2018
Berjalan ke Utara
Kami
lah yang berjalan ke utara itu
Kami
lah pencari ladang
Yang
kerap tak sempat mengaliri diri
Dengan
beragam aroma bunga
Atau
apa saja,
selain
dari napas-napas panjangmu
Kami
lah yang bergegas ke utara itu
Kami
lah pejinak pematang
Yang
kerap tak kunjung habiskan
cara
berupa-rupa
Kami
tak tahu, kapan akan menemukan
Segala
ubi-ubian, jagung, atau apa saja
Yang
leluasa menggerakkan tubuh
Kami
lah yang bergegas ke utara itu
Yang
berjalan dan tak berani
diam-diam
menilai segala ketiadaanmu
Kami
lah yang bergegas ke utara itu
Yang
hanya mencoba menembus
Segala
lubang sela-sela jari kaki
untuk
menghamburkan segala rupa
Untuk
selalu tunduk, dan berlutut
Di
bawah nama-nama keajaibanmu
Kendal,
April 2018
Berat Duka
Sudah
berapa berat duka
yang
ditumbuhi peluru
Sudah
berapa berat suka
Ditumbuhi
malu
Kami
enggan bertapa lagi
Lereng
gunung tak lagi asyik
Untuk
menyembunyikan kekalahanmu
Sudah
berapa berat duka
yang
segalanya telah luput
Memikul
doa kami yang kerap runtuh
Enggan
memilah puncak mana
Yang
pertama akan ditempuh
Sudah
berapa berat duka
Yang
tak lagi bisa berbuat apa-apa
Kami
kian hari seakan kian
membunuh
masa depan kami sendiri
Kami
sudah tak begitu akrab
Dengan
duka-dukamu
Maka
bergegaslah kami,
Menuju
segala ketiadaan itu
Kami
berlarian, menembus segala
yang
tak pernah kami temukan
Dalam
sekelebat nyawa
Yang
diam-diam kerap mengunjungi
duka-duka
itu
Kendal,
April 2018
Sabtu, 18 April 2020
Pagebluk dan Telur Naga Merah (Cendananews, 18 April 2020)
Pagebluk dan Telur Naga Merah
■cerpen Setia Naka Andrian
Kampung tiba-tiba digegerkan kabar tentang telur
yang bisa menangkal pagebluk. Desas-desus itu beredar luas. Selepas hampir tiga
bulan ini virus mematikan menebar di seluruh dunia, hingga sampai di sebuah kampung
terpencil yang cukup jauh dari kota.
"Kamu tahu tentang kabar telur yang manjur itu,
Sul?" Tanya penasaran Sutanto Aji kepada Samsul Maarif di sebuah
angkringan.
"Sepenuhnya tahu sih, tidak. Hanya
kabar-kabar yang berseliweran saja. Itu pun hanya sepenggal-penggal saja.
Sepertinya kabar-kabar itu kerap disampaikan dengan tidak lengkap. Tidak saya
terima gamblang. Malah semakin membingungkan saja." Jawab Samsul sambil
sesekali menyeruput kopi panas dari tangan kirinya. Lalu mengisap dalam-dalam
keretek yang dijepit dari dua jari tangan kanannya.
"Namun saya sebenarnya heran, Sul. Kenapa
seluruh warga percaya begitu saja." Ucap Aji dengan begitu entengnya,
sambil ia menikmati gorengan yang baru saja diangkat dari wajan.
"Kenapa bisa begitu, Ji?" Samsul jadi
penasaran. Ditatapnya lekat mata Aji.
"Mau bagaimana, Sul. Coba kita yang sudah
hidup di tahun 2020 ini agak logis. Bagaimana bisa pagebluk ini akan berakhir
begitu saja, hanya dengan sebutir telur itu? Kita tahu kan, Sul. Italia, Sul.
Italia saja kesusahan menghadapi pagebluk ini.” Kian serius menyampaikan
pendapatnya. Meski dengan penuh tekanan, namun suara kian diperlambat. Takut
jika sampai didengar orang. “Negara-negara di Eropa yang sudah sangat maju juga
susah mengusir virus mematikan ini. Seluruh dunia pusing."
Udara dingin menyergap sekujur gerobak angkringan itu.
Samsul diam. Namun tetap tak berhenti menyeruput kopi pahitnya yang kian
dingin. Asap dihembuskan dari mulut dan hidungnya dengan penuh kelegaan. Meski
matanya seakan menerawang jauh. Entah ke mana. Aji dan Samsul duduk
bersebelahan. Di sebuah kursi kayu panjang, tepat di depan gerobak angkringan.
"Mas Aji, Mas Samsul. Maaf ya, saya tadi tak
sengaja mendengar pembicaraan kalian. Diam-diam saat saya mengurus gorengan,
kisah yang kalian bicarakan turut mengusik saya. Namun saya diam saja. Sebab takut
juga kalau ikut berkomentar." Tutur Pak Ahyar, pemilik angkringan yang
begitu lugu dan dikenal baik hati itu.
"Lho, takut kenapa, Pak?" Aji penasaran.
"Ya, kenapa bisa takut, Pak?" Samsul
turut tanya.
“Sebentar, ya. Saya sambil mengemasi dagangan
dulu. Hari sudah larut. Sebentar lagi hujan sepertinya juga akan turun.”
Aji dan Samsul kian penasaran. Mereka nampak tak
sabar ingin mendengar penjelasan Pak Ahyar yang sedang berkemas memberesi
dagangannya. Meski usianya sudah setengah abad lebih, namun ia masih nampak
segar menjalani hari-harinya dengan berjualan hingga larut malam. Hampir setiap
malam ia membuka angkringannya. Meski telah ada edaran dari pemerintah agar warung-warung
ditutup. Termasuk terkait pembatasan kerumunan. Namun kampung ini cukup jauh
dari pusat kota. Orang-orang keras kepala sesekali masih keluyuran. Meski sekadar
untuk cari angin dan minum kopi di angkringan. Termasuk anak muda semacam Aji
dan Samsul.
Angin dingin menyambar kian kencang. Langit nampak
mendung, kian gelap. Aji menarik risleting jaketnya hingga leher. Samsul membetulkan
dan mengencangkan gulungan sarungnya mengitari leher. Gemuruh guntur sesekali
memecah suara angin yang menampari daun-daun pepohonan. Sudut perempatan jalan
tempat gerobak angkringan itu memangkal pun tak ditemui orang lain selain
mereka.
“Begini, Mas Aji, Mas Samsul.” Pak Ahyar mendekati
kedua anak muda itu. Sontak Aji dan Samsul memberinya tempat untuk duduk
bersebelahan. Keduanya antusias pasang telinga untuk lekas menadah apa saja
yang akan keluar dari mulut Pak Ahyar. “Waktu itu, tengah malam hampir serupa
ini. Hanya saja saat itu langit cerah. Tidak sedang hampir hujan seperti
sekarang. Pak Lurah dan Ki Mahmud mampir di angkringan ini. Mereka pesan kopi
panas.”
“Wah, Pak Lurah dan Ki Mahmud mau apa tengah malam
mampir ke sini, Pak?” Samsul makin penasaran, hingga ia menunda niat untuk
menyalakan kembali kereteknya yang baru saja mati. Aji mengangguk, memberi
penguatan. Kedua mata mereka metatap ketat ke arah Pak Ahyar.
“Ada pembicaraan yang tak sengaja saya dengar
malam itu. Sama persis seperti malam ini yang saya dengar dari kalian. Saya ingat,
saat saya mendengar itu, tentu sebelum kabar telur itu gempar di kampung ini.
Kalau tidak salah, baru satu minggu kemudian desas-desus tentang telur ini
merebak ke mana-mana.” Aji dan Samsul kian khidmat. Seakan tidak ingin sepatah
kata pun yang meluncur dari mulut Pak Ahyar tak tertangkap telinga mereka.
“Pak Lurah bicara sangat pelan kepada Ki Mahmud. Nampak
sangat berhati-hati sekali. Seakan takut jika saya mendengar. Pak Lurah meminta
tolong kepada Ki Mahmud, agar ia mau memberi petunjuk untuk menangkal pagebluk
yang sedang merebak ini. Awalnya Ki Mahmud bernada menolak halus.”
“Wah, kenapa sampai menolak, Pak? Bukankah Ki
Mahmud itu orang pintar yang terkenal sangat suka membantu siapa saja?” Dengan
masih penuh penasaran, cerocos Samsul memutus pembicaraan Pak Ahyar begitu
saja.
“Sebentar, sabar. Pasti saya lanjutkan.” Pak Ahyar
sambil melihat sisi kanan dan kiri, meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun yang
mengintai pembicaraan mereka. Aji dan Samsul pun turut serta memantau. “Namun
Pak Lurah memohon dengan sangat, bahwa semua demi kemaslahatan. Lalu akhirnya
Ki Mahmud menyampaikan sesuatu kepada Pak Lurah. Ia menyampaikan mengenai telur
naga merah itu.”
Aji menyergah, “Lantas bagaimana dengan telur itu,
Pak?” Samsul mengangguk, memberi penguatan.
“Ki Mahmud bilang, kalau telur naga merah diyakini
bisa menangkal pagebluk yang sudah tiga bulanan ini meresahkan warga dunia.
Termasuk di kampung kita ini.”
Samsul menyerobot, “Telur itu bisa didapat di
mana, Pak? Sebab yang beredar selama ini, semua simpang siur.”
Aji turut bicara, “Ya, benar, Pak. Ada yang bilang
telur itu bisa didapat di bawah rumah Ki Mahmud. Setelah menggali lima meter
tepat di bawah pintu rumahnya.”
“Ada lagi yang bilang jika telur itu bisa
ditemukan di dasar Sungai Waru. Terus ada juga yang bilang jika telur itu akan
keluar dari perut seorang perempuan yang mengandung lima bulan dan ditinggal
mati suaminya.” Samsul penuh meyakinkan.
“Kemarin malam, Pak Sarmuni saat ngopi di sini
juga bilang, kalau telur itu akan datang dengan sendirinya di atap rumah
perawan tua yang selalu gagal menikah akibat calon suaminya meninggal tanpa
sebab sesaat sebelum pernikahan itu dijalani.” Pak Ahyar menambahkan.
“Nah. Itu masalahnya, Pak. Semua kabar tentang
telur itu tidak ada titik temunya.” Aji menegaskan.
“Dan semua itu membuat seluruh warga di kampung
ini bertanya-tanya. Selain kecemasan dan ketakutan yang kian hari kian tak
karuan, kita semua juga dibuat bertanya-tanya tentang kepastian telur itu, Pak.
Sesungguhnya kedua itu sama-sama meresahkan.” Samsul menambahkan.
Aji mendesak, “Malam itu Ki Mahmud tidak
menyampaikan di mana telur itu bisa ditemukan, Pak?”
“Saya tak mendengar jelas dan pastinya di mana
telur itu bisa didapat. Namun saat itu Ki Mahmud beberapa kali menyebut Bukit
Limanan.” Jawab Pak Ahyar masih dengan nada was-was, takut jika ada yang
mendengar. “Namun selanjutnya saya tak tahu. Mereka pulang, sesaat kemudian
selepas Bukit Limanan disebut-sebut itu.”
Aji dan Samsul terdiam. Seakan mereka berjumpa
dalam titik lamun yang sama. Seakan sama-sama menerawang Bukit Limanan yang tak
jauh dengan kampung mereka. Bukit itu menjadi pembatas kampung ini dengan
kampung sebelah.
Sesekali gemuruh guntur kembali memecah suasana.
Dingin angin kian menampari siapa saja. Tak terkecuali Pak Ahyar, Aji, dan
Samsul yang sedang serius dalam pembicaraan.
Pak Ahyar kembali melanjutkan pembicaraan yang
terputus. Aji dan Samsul kembali menaruh telinga juga matanya ke arah Pak
Ahyar, “Memang, selama ini kita dibuat bertanya-tanya. Berita-berita di televisi
juga semakin membuat kita semua ketakutan. Setiap saat selalu saja dibakarkan
kematian orang-orang terinfeksi berjatuhan. Selama tiga bulan ini saja ribuan orang
di seluruh dunia telah direnggut virus mematikan itu. Meski memang warga di
sini belum ada yang terinfeksi. Dan kita semua tentu tak ada yang berharap
terinfeksi, kan?”
“Ya, semoga saja virus itu tidak akan sampai di
sini.” Ucap Samsul sepenuh doa.
“Semoga misteri telur naga merah itu lekas
terungkap.” Aji turut menaruh doa.
Petir menyambar. Pak Ahyar kaget, begitu pula Aji
dan Samsul. Langit sudah nampak hampir menumpahkan seluruh airnya. Pak Ahyar mendongak
ke atas, kemudian mengajak pulang, “Mas Aji, Mas Samsul, sebentar lagi hujan
akan turun. Kita sudahi pembicaraan kita malam ini ya...”
Sesaat kemudian hujan turun cukup lebat. Mereka
pulang ke rumahnya masing-masing. Meski Aji dan Samsul masih memendam rasa
penasaran. Telur naga merah di Bukit Limanan. Saat berjalan pulang, Aji dan
Samsul berencana esok hari akan pergi ke Bukit Limanan.
***
Aji dan Samsul menepati rencananya untuk pergi ke
Bukit Limanan. Pagi hari mereka berangkat bersama. Ditempuh dengan jalan kaki.
Sebab untuk menuju ke bukit itu, mereka harus melewati tepi sungai, sawah, dan
hutan. Namun saat belum jauh berjalan meninggalkan rumah mereka yang memang
berdekatan, Aji menepuk pundak Samsul dan berkata, “Sul, berhenti sebentar.
Lihatlah ke Balai Desa.” Bisik Aji kepada Samsul, saat melihat Pak Lurah dan Ki
Mahmud sedang serius berbincang.
Akhirnya mereka berdua penasaran dan cari cara
agar bisa menguping pembicaraan Pak Lurah dan Ki Mahmud. Mereka mengendap-endap
melewati sebelah pagar luar Balai Desa untuk mendekat menuju tempat Pak Lurah
dan Ki Mahmud duduk di depan Balai Desa.
“Saya tak habis pikir, kenapa putra Pak Romdon
yang bekerja di Wuhan itu nekat pulang juga. Padahal tahu kalau bapaknya setiap
malam mengajar mengaji anak-anak sekampung. Pulang diam-diam juga. Sudah
seminggu ini di rumah. Sedangkan Pak Romdon juga nekat, masih mengajak
anak-anak mengaji.” Pak Lurah nampak kesal, namun ia juga bimbang. “Kalau sudah
begini bagaimana Ki Mahmud? Jika telur naga merah itu bisa jadi penangkal, yang
akan menghalangi. Kalau ini virus sudah dibawa dan pasti menyebar ke anak-anak,
juga tentu kepada orangtua mereka, apa yang akan kita harapkan dari penangkal
itu? Ini sudah seharusnya tidak ditangkal lagi. Namun diobati.”
“Maaf Pak
Lurah, selama beberapa bulan ini, sejak kita di angkringan Pak Ahyar itu,
sungguh saya selalu berupaya untuk melakukan berbagai cara agar bisa
mendapatkan telur naga merah di Bukit Limanan. Sesuai petunjuk dari mimpi yang saya
dapatkan. Namun apa daya, ternyata telur naga merah itu tak kunjung saya
dapatkan.”
Sejurus kemudian, salah seorang perangkat desa
datang menemui Pak Lurah, “Pak, izin menyampaikan laporan. Beberapa warga demam,
batuk kering, dan kesulitan bernapas. Saat ini mereka dirawat di Puskesmas.
Sebentar lagi akan dibawa ke rumah sakit kota. Dari sesak napas dan gejala yang
diderita, mereka dinyatakan terinfeksi.”
Pak Lurah tak mengeluarkan sepatah kata pun,
begitu pula dengan Ki Mahmud. Mata Pak Lurah menerawang jauh. Sepertinya ia
merasa gagal, tak dapat berbuat banyak untuk warga desanya. Aji dan Samsul
melongo, saling bertatapan.[]
Kendal, Maret 2020
Sumber: https://www.cendananews.com/2020/04/pagebluk-dan-telur-naga-merah.html
Selasa, 24 Maret 2020
Gagasan Gemilang dari Paguyuban Jomblo Pura-Pura Bahagia Indonesia Komisariat UPGRIS Menjelang Wisuda
Gagasan
Gemilang dari Paguyuban Jomblo Pura-Pura Bahagia Indonesia Komisariat UPGRIS
Menjelang Wisuda
Oleh Setia Naka
Andrian
Ada satu
persoalan cukup parah yang dialami bagi para mahasiswa jomblo. Yakni saat
mereka harus menghinggapi panggung wisuda!
Coba bayangkan,
pada sebuah momen yang sangat ditunggu-tunggu bagi segenap kaum intelektual
kampus, namun pada saat itu hanya merayakan seorang diri. Di hadapan kedua
orangtuamu, kau berdiri mematungkan badan seorang diri. Lalu banyak orang yang
melihatmu mbatin dengan saksama, "Lho maaf ya, ini situ wisuda Taman
Kanak-Kanak atau wisuda sarjana? Kok ya masih saya hanya ditemani orangtua
semata?"
Meskipun
sesungguhnya bapak/ibumu bakal mbatin pula, "Dosa apa anakku ini, ya
Tuhan. Sungguh malang sekali nasibmu, Nak. Padahal kami berharap, lengkap sudah
kebahagiaanmu pada saat wisuda ini. Tapi malah menjadi lengkap sudah
deritamu!"
Begitulah
beberapa hal yang menjadi tradisi was-was, tragedi penderitaan mendalam, atau
apa saja yang kerap dikaitkan dengan seabrek hal-hal yang ngenes-ngenes. Bahkan berdasarkan hasil riset kontemporer yang dilakukan oleh Paguyuban Jomblo
Pura-Pura Bahagia Indonesia Komisariat UPGRIS, menyimpulkan bahwasanya
penderitaan yang dibarengi dengan kewaspadaan serupa ini sudah dialami semenjak
mereka baru saja memulai menjalani kehidupan kampus. Selepas mereka lulus dari
SMA!
Coba bayangkan,
Mblo! Mereka sesungguhnya sudah merencanakan sedemikian rupa dengan upaya yang
dirasa begitu tak terhingga untuk mencari pasangan! Dibela-belain harus
melakukan pendekatan sana-sini, dibela-belain harus mengikuti kegiatan kampus
ke sana-sini. Bahkan rela setiap saat menjadi ojek dadakan tanpa prabayar atau
pascabayar! Namun tetap saja, segala itu tiada hasil apa-apa.
Hasil riset
kontemporer itu setidaknya juga memberi jawaban signifikan, bahwa saat
bimbingan skripsi berlangsung pun mereka masih saja cemas, memikirkan hendak
berfoto dengan siapa saat bertoga nanti?
Akhirnya setelah
berjalan beberapa kali wisuda. Selepas direnungkan sedalam-dalam, dan daripada
bersusah payah memikirkan segenap peta penderitaan itu. Maka berjumpalah
mereka, para jomblowan-jomblowati dengan gagasan besar yang tidak lain
disengkuyung secara akbar oleh Paguyuban Jomblo Pura-Pura Bahagia Indonesia
UPGRIS.
Mereka ciptakan
sebuah usaha menengah ke atas ke bawah ke samping kanan dan ke kiri secara
mendalam, akurat dan terpercaya. Usaha itu tak lain adalah usaha jasa sewa
pasangan untuk wisuda!
Paling tidak,
bagi mereka, ada kebahagiaan kecil-kecilan yang didapati sesaat selepas ritual
wisuda usai dijalani. Mereka bisa berfoto dan pamer pasangan kepada orangtua
dan sanak-saudara. Meskipun sesudahnya mereka akan kembali dan bermula lagi
pada penderitaan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan panjang akan berjatuhan
kembali, yang tak lain dari bapak/ibumu, "Mana seseorang yang sudah sempat
kau ajak berfoto bersamamu saat wisuda? Yang sudah sempat kau kenalkan kepada
bapak/ibu saat wisuda itu? Kapan ia akan diajak ke sini untuk membicarakan
segala sesuatunya menuju ke jalan yang lebih matang?"
Foto kamu
dan pasangan sewaanmu sudah terlanjur dipajang di ruang tamu. Setiap ada tamu
datang pasti akan bertanya kepada bapak/ibumu. Kamu dan pacar sewaanmu
tersenyum manis dan sangat bahagia. Namun sebatas dalam foto yang bersemayam di
dinding itu saja. Tidak lebih. Sungguh, demi Tuhan, tidak bisa lebih dari
itu.***
Langganan:
Postingan (Atom)